Friday, December 13, 2013

Mengapa?

Adinda,

mengapa kaubakar sirih dan pepadiku?

Dan mengapa kauruntuhkan tirakatku?

Tidakkah kauhargai Dewata yang mengabulkan permohonanku bagimu?

Mengapa begitu jahatmu kepada Ibu Semesta yang murah hati, Adinda?

Mungkin bodoh aku.

Apalah arti sekapur sirih bagi kamu-kamu, Aradinda.

Tapi, mengapa?

Monday, November 18, 2013

Ia Terhapuskan

Mereka menyingkirkannya dari antara mereka, dan melupakannya. Mulutnya tak boleh lagi bersuara kecuali untuk mengisi huruf yang hilang dari kata-kata mereka, lalu semua hanya anggap mereka saja yang berbunyi. Padahal dia pernah ada, dan masih ada.

Mereka mengikatnya pada batang usia yang siap digelindingkan ke lubang hitam. Mereka memangkas kedua tangannya dan menjadikannya bekerja untuk tubuh mereka. Sedangkan tangan mereka sendiri memegang roti emas dan anggur perak. Maka yang lain hanya tahu bersalaman dengan tangan mereka saja yang terasa. Padahal dia masih ada, dan tetap ada.

Mereka telah melupakannya, semua luka-lukanya yang pernah menjaga mereka, dan semua suaranya yang pernah membela mereka. Mereka telah melupakannya yang telah mendorong perahu mereka mengarungi danau asam sampai ke puncak Mahameru. Mereka telah melupakannya yang telah membalik segalanya demi mereka.

Ia mereka anggap kuda hitam. Tak diberi keberadaan.
Dan ia terhapuskan.

Namun masih ada yang tertinggal, yang diberikan dan direlakannya.

Hanya dan selalu untuk mereka.

Hatinya.

Wednesday, October 16, 2013

Doa Mohon Kerendahan Hati

Tuhan, yang lemah lembut dan rendah hati, dengarkanlah aku.

Dari keinginan untuk dihargai, dipuji, dan dihormati;
Dari keinginan untuk terangkat martabatku;
Dari keinginan untuk dimintai nasihat dan jadi terkemuka;

Bebaskanlah aku, ya Tuhan.

Dari ketakutan untuk dihina, direndahkan, dan diabaikan;
Dari ketakutan untuk dijelekkan namaku;
Dari ketakutan untuk dilupakan, diejek, dinodai, bahkan dituduh;

Bebaskanlah aku, ya Tuhan.

Semoga orang-orang lain lebih banyak memperoleh penghargaan daripada aku.
Semoga mereka mendapat jalan yang lancar, sedangkan aku tersisihkan.
Semoga mereka bertambah besar di mata dunia, sedangkan aku terbelakang.
Semoga mereka mendapat pujian, sedangkan aku diabaikan.

Semoga mereka mengatasi aku dalam segala hal.

Ya Tuhan, berilah daku rahmat untuk mengharapkannya.

(dari Madah Bakti dengan penyesuaian)

Friday, October 04, 2013

Quid Feci Tibi?

Yang seharusnya bertanya "apa salahku?" itu aku, bukan kalian.

Kalian anggap aku ini anjing, yang kalian maki-maki karena kenajisanku, yang kalian benci karena suka sekali menggonggong.

Tapi lihat nanti jika suatu kemalangan menimpa kalian, kalian akan datang padaku yang telah kalian campakkan lalu bertanya "kenapa kau tidak menggonggong?"

Aku ini rumput pagar yang kalian cabik-cabik dan kalian gunting setiap hari, lalu kalian paksa menjaga halaman rumah tanpa kalian sirami. Tak ada bedanya dengan anjing.

Tapi saat badai menerpa rumahmu, jangan salahkan aku jika aku telah mati kekurangan air dan membuat kalian hancur berantakan tanpa perlindungan.

Aku kalian samakan dengan buah semangka, yang kalian kebiri hingga habis biji-biji bakal anakku, agar kalian bisa makan aku sepuasnya.

Tapi saat tak ada lagi yang bisa kalian makan, ingatlah biji-bijiku yang seharusnya sudah menjadi buah yang manis kalau saja kalian membiarkannya tumbuh.

Siapatah sesungguhnya yang tidak punya hati?

Wednesday, October 02, 2013

Sederhana Saja

Puisi untuk seseorang.

Dalam setiap bait tersiratkan satu kata yang jika disatukan dengan kata dari bait lain akan menampakkan pesan aslinya.

Selamat menyelidiki!

* * *

SEDERHANA SAJA

Di segala penjuru dipertuan oleh para tuan hamba.
Dimana istana yang kulitnya dapat dikotori, maka mereka dapat memandang lewat gelar yang disandangnya.
Begitulah cara bibir ini menunjuk kepada ia yang menunjuknya.
Sederhana saja, keberadaannya dimiliki oleh setiap pribadi.
Tinggal ganti saja.

Lagi yang satu kubincangkan ini seribu rupanya.
Yang dipaksa oleh para suci menjadi satu dengan yang satu.
Datangnya dari dalam diri, mengutara dalam yang tampak dan tak tampak.
Pengkhotbah yang baik akan memaksanya untuk memanjat sambil berjalan lurus.
Sederhana saja, keberadaannya dirasa oleh setiap hati.
Tinggal namanya saja.

Ah, kalau ini aku bilang saja bukan untukku disebut, tetapi lawannya.
Kalau bukan aku, siapa lagi selain mereka dan kalian? Kurasa bukan dia.
Menyerah saja, pun tuanku tak sanggup menunjukkan jari padanya.
Sederhana saja, keberadaannya hanya dibutuhkan oleh setiap jiwa yang ingin berdua.
Tinggal ganti lagi saja.

Entah kenapa aku sepertinya harus menoleh kembali.
Dirimu pun tiada bedanya, percayalah.
Ia tetap hanya ada di awal-awal ruang waktu.
Tetaplah sederhana saja, lihatlah ke depan.
Aku akan tunggu balasmu.

Monday, September 30, 2013

Dua Sayap Angkuh

Lihatlah, aku mengakuinya:
bahwa aku belum pernah sekalipun rela
menerima lebah seperti kedua sayap itu,
yang hendak membawa bunga ini terbang.

Dua sayapmu harus kau sadari.
Mereka belum mapan,
tapi ditutur ajian tak terima.
Mau mengibas-ibas sesuka hati, serasa sudah jadi rajawali.

Utarakanlah ke segala kelopaknya dan setiap tetes embunnya:
bahwa sayap sejak lahir sudah bisa mengepak.
Lalu kita lihat anjing mana yang menggonggong setuju.
Insaf dan merendahlah, mengaku dirilah apa yang kau butuh.

Aku hampir malas meladeni,
aku harap mereka membiarkanmu merasakan
segala yang kau pernah tebas di daun bungaku.
Sampai purna kalamu biarlah kau menanggungnya,
lalu hari itu menolehlah kepadaku dan hitunglah sesalmu.

Maka dengarlah aku mengutuk kedua sayap itu yang takkan pernah ada lebihnya daripadaku.

Saturday, September 28, 2013

Beberapa Patah Kata

Beberapa puisi kesayanganku, yang ditorehkan oleh Maestro Sapardi Djoko Damono.

* * *

PADA SUATU PAGI HARI

Maka pada suatu pagi hari
ia ingin sekali
menangis sambil berjalan tunduk
sepanjang lorong itu

Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik
dan lorong sepi
agar dia bisa berjalan sendiri saja
sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa

Ia tidak ingin menjerit-jerit
berteriak-teriak mengamuk
memecahkan cermin
membakar tempat tidur

Ia hanya ingin menangis lirih saja
sambil berjalan sendiri
dalam hujan rintik-rintik
di lorong sepi
pada suatu pagi

* * *

AKULAH SI TELAGA

Akulah si telaga
berlayarlah di atasnya
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil
yang menggerakkan bunga-bunga padma

Berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya
sesampai di seberang sana
tinggalkan begitu saja
perahumu biar aku yang menjaganya

* * *

HUJAN BULAN JUNI

Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu
di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

* * *

AKU INGIN

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada

* * *

"Ketika berhenti di sini, ia mengerti. Ada yang telah musnah. Beberapa patah kata yang segera dijemput angin begitu diucapkan dan tak sampai ke siapapun." -Sapardi Djoko Damono

Wednesday, September 18, 2013

Kulihat di Depanku

Sebuah puisi gaya lama, syair yang kubuat untuk seseorang. Identitas orang itu dapat diketahui dengan petunjuk dari judul puisi ini.

* * *

KULIHAT DI DEPANKU
(Mahardhika Kusumo Simbolon)

Embun yang kelabu itu bergerak menjauh
Dari dermagaku mereka angkat sauh
Inilah janji Kala waktu air keruh
Tidak sia-sialah semua tetes peluh

Ada yang datang melingkarkan tambang
Itu dia yang berdiri di depan gerbang
Naik melompati karang
Telah kini murni terpampang

Elang menari riuh di atas pura
Narendra mengetuk pintu Batara
Aku bergeming menyangkal segala lara
Sempurna sudah dalam hati membara

Tidak lagi kubutuhkan cita-cita
Indah nian tersiratkan cerita
Tetaplah ini yang penting dalam kata
Inilah kau dan aku, inilah kita. Cinta.

(Jakarta, 18 September 2013)

Sunday, August 18, 2013

Ada Yang Datang

Ada yang mengetuk pintu. Ketika pintu dibukakan, aku melihat sebuah senyum dan mata yang bersinar. Dia masuk dan mendatangi kami, dan aku terus menelanjangi wajahnya. Baru yang menghadapku saja yang terlihat. Membuatku penasaran.

Akhir dari waktu sebelum saat itu, aku masih gelap saja. Dimana-mana nuansanya suram. Ada kesedihan dan amarah, dan kebodohan dan pengkhianatan. Ada yang menggerogoti cita rasa dan cita cinta. Sudah kepingin mati saja sebenarnya tapi urung karena harga diri.

Heran. Dia yang datang itu mungkin membawa angin dan matahari bersamanya. Terang dan sejuk, bersinar dan menenangkan, membahagiakan. Padahal baru yang menghadapku saja yang tampak. Aku tidak tahu belakangnya akan jadi seperti apa, hanya ada sesuatu yang mengintip di baliknya. Apa itu aku tak tahu. Tapi aku mau terus bersama kebahagiaan ini. Dia bilang dia akan tinggal disini mulai sekarang. Mungkin ini bisa jadi sesuatu. Aku harap begitu.

Ah, ternyata dia juga mulai terus melihatku. Bingung jadinya untuk bersikap. Ada sebuah perasaan, ya, sebuah getaran. Yang mengubah debit darah dan menggugupkan detak jantung. Yang ada dibaliknya terus mengintip, makin lama makin tampak.

Ada yang datang.

Ya, yang dibaliknya itu.

Tapi, apa itu?

Jangan-jangan............. cinta?

Sepertinya betul.



Ah, akhirnya!


Selamat datang, cinta.


Saturday, August 10, 2013

Ketika Tak Ada Cara Lagi

Semua telah bersimbah dan berpeluh. Segala keberadaan berkelahi dan bertempur. Satu per satu telah membunuh dan dibunuh.

Hati yang berlumur darah menangis bersama amarah yang bangkit. Jantungku telah kumakan sendiri dan paru-paruku telah kuumpankan kepada serigala. Tulang-tulangku berperang dengan dagingku, mendesak keluar dengan penuh hasrat mematikan, mengejarmu yang telah membangkitkan murka agung.

Ingat baik-baik saat ini, dimana tiada jalan lain lagi untuk menghancurkanmu, maka aku mengutuk diriku sendiri untuk bersumpah terhadapmu.

Ketika tak ada cara lagi, maka aku akan mengerahkan semua iblis dalam diriku.

Satu yang tampak,

maupun dua YANG TAK TAMPAK.

Sampai kau MATI.

Saturday, August 03, 2013

Istana Pasir Kita

Kekasihku, apa kabarmu? Sudah lama sekali kita tidak melakukan sesuatu bersama. Sudah hampir aku terbiasa tanpa kehadiranmu, namun selalu ada pengingat untukku. Aku harap kau pun begitu.

Masih ingatkah kau ketika dulu kita membangun sebuah istana pasir di pantai yang gersang? Aku masih ingat berapa tetes keringat kita yang jatuh waktu itu, yang mungkin kini sudah dilupakan, tersapu oleh ombak ketidakpedulian. Alangkah megah dan indahnya istana kita ketika kita terakhir kali melihatnya berdua, sayang. Ukiran-ukiran dan pelbagai hiasan yang kita torehkan dengan bekal dan alat seadanya, didasari rasa cinta kita dan ketulusan. Aku masih ingat betul betapa kita menangis bersama merasakan kebahagiaan itu.

Setiap saat, kita menjaga dan melindunginya. Bersama-sama dan kadang bergantian. Jika kau tak bisa, aku selalu ada menggantikan kita, begitupun jika aku tak bisa. Cinta yang sangat besar kita berikan untuk menjaga dan memperindah istana itu, istana pasir kita. Kita selalu siap berkelahi dengan ombak dan beradu dengan hujan, melapisinya bahkan dengan pakaian kita sendiri. Aku menyayangimu dan istana pasir kita, kekasihku. Dan aku percaya kau pun begitu.

Tetapi waktu telah memaksa kita untuk meninggalkannya. Merelakannya untuk orang lain agar menjaganya. Dan kita pun berpisah, kau dengan impianmu sendiri mengejar bintangmu, dan aku dengan diriku sendiri. Namun aku telah berjanji kepadamu untuk tetap membiarkan diriku terus ada di sana, memandangi istana kita dengan penuh harapan dan cinta. Dan aku mengorbankan diriku, demi dirimu dan demi istana pasir kita.

Tetapi kemudian aku menangis dan berteriak-teriak. Kekasihku, kini mereka membiarkan orang tidak bertanggungjawab ikut menjaga istana kita. Orang itu mengubah-ubah seenaknya, tanpa mau mengerti akan apa yang dibutuhkan istana kita. Mereka yang kadang merasa lebih tahu, membiarkan orang itu bermain sembarangan di istana kita. Betapa hancur hatiku melihatnya.

Aku menangis memanggil-manggil namamu. Aku tak mau istana pasir kita hancur karena kecerobohan orang tidak bertanggungjawab. Aku terlalu mencintainya. Tapi aku tak lagi punya kekuatan untuk membuat orang itu pergi. Tidak ada yang peduli lagi denganku di sini, yang dengan hati yang remuk memandangi istana pasir kita walau mataku sudah tak mampu melihatnya, terbenam dalam air mata yang tak ada habisnya. Tolong aku, kekasihku, kembalilah, temani dan bantulah aku. Aku membutuhkanmu, membutuhkan kita disini.

Karena hanya dirimu lah yang kusayangi, hanya kau, dan istana pasir kita.

* * *

"Orang bijak membaca dan mengambil pesan tanpa menghakimi siapa atau apapun."

Wednesday, July 31, 2013

Maaf Aku Tak Bisa

Sebelum perahu kita menepi aku pernah berjanji kepadamu untuk terus menjaga bahtera kita selama kau membiarkan ragamu terpisah dari hati ini. Kita telah berhasil membangunnya dan memperindahnya dengan segala kayuhan-kayuhan penuh cinta yang terkadang perih diterpa arus yang menantang atau karang yang menjulang. Kita pernah mengalaminya ketika seluruh isi perahu memberontak ingin merubah haluan, tapi kita berhasil membawanya ke dermaga.

Tapi ternyata aku tak bisa.

Ketika kebersatuan kita berakhir aku kehilangan dayamu untuk menyeimbangkan isi geladak dan meratakan buritan. Aku tidak sanggup dengan caraku sendiri menggelar layar-layar yang masih harus dibentangkan satu per satu. Mereka masih ingin berkibar ke arah masing-masing, seakan mengetahui tujuan kita. Aku masih terus berkelahi dengan tangan dan kakiku untuk membentangkan layar-layar itu.

Tapi aku masih tak bisa.

Cepatlah kembali dan temani aku untuk menarik tali-tali penyangga seutas demi seutas. Aku tak bisa menarik di kedua sisi bersamaan. Aku butuh kita untuk menarik kedua sisi layar sebelum mereka dapat membentangkan lengan-lengannya sendiri dan menantang cakrawala membawa perahu kita ke pulau kejayaan dan kebahagiaan. Cepatlah kembali sebelum habis masa kita. Aku tak bisa dengan caraku sendiri.

Tapi aku tetap tak bisa.

Kini aku biarkan perahu ini bergerak sendiri dibawa kedua layar yang belum dapat merekah. Akankah angin membantu mereka sampai mereka terbentang dan dapat berlayar? Aku pasrah, duduk terdiam di tepi geladak, menetakkan tangan dan kakiku yang selalu memintaku berhenti membentangkan layar.

Maaf aku tak bisa.

Monday, July 08, 2013

Sebuah Pengakuan

Ketahuilah, bahwa akupun tidak tahu apa yang harus kuperbuat terhadap segala yang terjadi dengan perasaanku.

Aku tak bisa menebak kapan, dimana, dan karena apa perasaan ini muncul.
Aku belum mengerti mengapa ini begitu meluap-luap, tak bisa kukendalikan.
Seharusnya ini tak pernah ada.
Ya, perasaan macam ini tidak boleh ada.

Tapi aku, mencintaimu.

Belum sedetik pun aku menyerah untuk menahan kebodohan ini.
Kebodohan karena mencintaimu.
Belum sekalipun aku berhenti bertanya-tanya bagaimana cara menghapus kesesatan ini.
Kesesatan karena terjebak dalam hatimu.

Tapi kini, aku membutuhkanmu.

Aku tak dapat membunuh rasa rindu akan dirimu.
Rasa yang menjadi-jadi untuk bisa bersamamu di dalam segalanya.
Rasa yang berhamburan untuk memilikimu seutuhnya.
Aku membodoh-bodohi diriku sendiri dan menjebak jiwaku dalam amarah dan ketakutan.

Aku takut, kehilanganmu.

Sebijak apapun aku coba menghadapi semua tuntutan rasa, aku jatuh lagi dan lagi.
Jatuh ke dalam jurang, mencoba menggapai-gapai dirimu yang tak melihatku.
Aku ingin kau mengerti, bahwa aku tidak tahu harus apa lagi.
Jangan tinggalkan aku untuk menghadapi ini sendirian, tolonglah aku.

Sekali lagi, karena, aku mencintaimu.

Thursday, July 04, 2013

Sanggupkah Aku?

Seperti api yang mencoba berpisah dengan panas,
seperti air yang mencoba berpisah dengan basah,
seperti tanah yang mencoba berpisah dengan kotor,
seperti udara yang mencoba berpisah dengan angin.

Seperti itulah aku mencoba berpisah denganmu.

Layaknya penebang yang membiarkan kayu,
layaknya nelayan yang membiarkan ikan,
layaknya pemburu yang membiarkan rusa,
layaknya petani yang membiarkan lahan.

Seperti itulah aku jika membiarkan dirimu.

Bagaikan pemain tenis yang melepas raketnya,
bagaikan pelaut yang melepas layar dan dayungnya,
bagaikan penyanyi yang melepas pita suaranya,
bagaikan perenang yang melepas kaki dan tangannya.

Begitulah aku berusaha melepasmu.


Tapi, sanggupkah aku?

Monday, July 01, 2013

Cinta: Mempersatukan Yang Tak Bisa Disatukan

Air tidak bisa disiram dengan air.

Api tidak bisa dibakar dengan api.

Tanah tidak bisa diinjak oleh tanah.

Udara tidak bisa ditiup oleh udara.


Seperti kutub Utara yang hanya bisa bertemu kutub Selatan,

dan seperti kancing yang hanya bisa masuk ke lubangnya.


Mustahil menyatukan dua kutub Utara,

atau mempertemukan kancing dengan kancing.


Bukankah bodoh jika membuat adukan pasir dengan pasir bukannya semen?

Bukankah dungu jika membuat perunggu dari tembaga dengan tembaga bukannya timah?


Tapi itulah cinta. Bodoh dan dungu. Buta.

Bisa-bisanya mempersatukan apa yang tak mungkin disatukan.


Dan aku terperangkap olehnya.

Sunday, June 30, 2013

Amor Caecus

Ketika fajar burung gagak itu hanya melihat sang merpati sebagai sepasang sayap yang turut berkibar di angkasa. Sampai surya merentangkan jemarinya dari ujung bumi ke ujung lautan, tetap saja lalu lalang begitu saja di mata gagak. Dengan niat secukupnya untuk sekadar menambah cakrawalanya, gagak itu berani memulai sebuah senda gurau dengan si merpati. Tentu saja, tanpa ada maksud untuk menjadikan situasi lebih dari sekadar perbincangan.

Namun sebuah kegerakan hati yang menggubah perasaan membuat keduanya makin erat, dengan semua tantangan yang mereka lintasi beriringan di udara yang begitu jahat. Dari hanya beberapa kata penghibur dan penggembira suasana, keduanya kini rela jika harus mencabuti semua bulunya demi sang sahabat.

Kemudian diam-diam sang gagak menaruh hati kepada merpati. Mulanya kebingungan melanda hatinya. Tapi dengan keberanian dan penuh kepercayaan, gagak pun menyatakannya kepada sang merpati, dengan cara yang halus dan penuh kepasrahan. Ketika kemudian sang merpati menerimanya dengan senyuman, si gagak meloncat-loncat kegirangan.

Gagak tiba-tiba terhenyak ketika sadar bahwa cintanya terlarang. Bagaimana mungkin gagak bersama dengan seekor merpati? Tanpa sadar ia menangis, hatinya begitu hancur. Terlebih, sang merpati tampak tidak peduli akan apa yang sedang menjadi pergulatan hati si gagak. Mungkin merpati itu menganggap semua hanya hal yang biasa saja dan akan hilang dengan sendirinya bersamaan dengan semakin jauhnya hubungan mereka, dan datangnya merpati lain yang siap bersanding dengannya.

Kini gagak yang telah remuk hatinya, bertengger di ranting pinus tempat dimana mereka berdua biasa kumpul, berharap-harap merpati kecintaannya itu ingat padanya dan mau lagi berbagi rasa dengannya. Gagak itu terus menanti, meski ia tahu cintanya terlarang.


Cinta itu buta. Ya, dan aku telah terjebak di dalamnya.


Wednesday, June 26, 2013

Hanya Beberapa Kicauan Saat Kau Tak Ada

"Aku beruntung memiliki sahabat-sahabat terbaik yang rela kujadikan mata, telinga, dan mulut perantara untukku. Terima kasih."

"Saat semua usaha sudah dilakukan dan semua bantuan dari teman-teman terbaik sudah diperoleh, aku hanya bisa pasrah dan menunggu."

"Haruskah aku biarkan saja ikan yang jatuh di air kolam? Atau aku harus mengambilnya dan melepasnya ke sungai yang bebas?"

"Dan aku menanti-nanti perubahan yang terjadi saat kau kembali, dengan penuh harap akan rindu yang begitu pilu."

"If that was me who asked you, would you do the same? And if this was for me, would you sacrifice this much? Would you rather choose me?"

"Bila rasaku ini rasamu, sanggupkah engkau menahan sakitnya?"

"You are the best thing that's ever been mine."

"Aku ingin bisa searif hujan bulan juni, yang membiarkan yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu."

"Setiap hentakan kala berdenting, yang ada di atmaku hanyalah kekhawatiran akan kemungkinan-kemungkinan yang tengah kau karyakan."

"Mengetahui keberadaan ragamu di ruang raganya, selalu timbul kecemasan akan keberadaan rasamu dalam segala kemungkinannya merupa."

"Karena bahkan mata kelimaku yang sudah lama tertutup kubuka kembali untuk menandai ragamu dan menyelidiki rasamu."

"Dewata, cegahlah dia yang tak bisa dicegah, bukalah mata yang tertutup, pulangkan raga yang hilang, buanglah rasa yang semu."

"Dan kuatkanlah dan teguhkan ragaku, tabahkan dan tenangkan rasaku, untuk menghadapi kelima surya yang menghadang."

"Sebab hari-hari ini adalah jahat, dan terkutuklah dia hingga binasalah segala dusta dan muslihat yang digunakannya untuk menipu rasa."

"i am lord TexAne."


"Hey slut, if you see this, you'll have to know that we are in a state of no less a war. If you do anything to him then you are dead."



Thanks for listening (by reading LOL) without judging :)

Saturday, June 22, 2013

Bahteraku Dibuang dari Dermaga

Wow, how old this is!

* * *

Dengan rasa bangga ku mengawalinya, dan engkau pun turut denganku. Setelah lama, rasa sakitku pudar, dan terus pudar.

Pelan-pelan dia datang ke kehidupanku denganmu, mencoba meraih cintamu lagi. Kau main kasar, tanpa sopan santun. Memangnya apa masalahmu denganku? Aku tidak pernah mengganggumu.

Engkau, sang dermaga cinta, mengapa kau membiarkannya merapat ke sisimu? Bukankah aku sudah menepi? Dan begitu saja kau biarkan mendekat, dan semakin rapat dengan sisimu, sedang aku semakin jauh terterpa arus.

Aku menangis di depan sebuah layar, di bawah bulan yang tengah menghadap ke bintang. Setiap saat aku coba lepas semua sakit, dan aku berusaha melawan.

Tapi masakan aku harus membunuh dia yang mendekatimu untuk kedua kalinya? Jika kau tahu aku adalah yogi, tetapi yogi juga seorang manusia, bahkan terkadang lebih rapuh dari manusia biasa.

Hancur. Hancur bahteraku.

Terserpih.

* * *

Depok, November 21st, 2009.

Seruan Kepada Langit Cerah

Another old poem of mine.

* * *

Kepada langit cerah, aku berseru:

Dengan hal sesederhana itu, kau telah mengubah duniaku penuh dengan cinta. Kau menjadikanku lelaki paling beruntung di dunia. Terima kasih banyak, langit cerahku. Sepanjang masa ku memujimu, aku mencintaimu sampai Batara Kala berhenti memutar roda nyawaku.

Aku menyimpan cinta ini untukmu semata, hanya kutujukan padamu. Tak lain adalah dirimu yang dapat membuka hatiku dan mengambil segenap keresahanku selama penantian akan cintamu. Lihatlah aku menunggumu di bawah kenangan kita yang lampau, sadarkanlah hatimu akan keberadaanku selalu di sisimu.

Di saat sendiri dan sepi menghantuimu, hitunglah jejak kaki di belakangmu. Dua milikmu, dan dua milikku. Ketika jejak itu hanya ada dua, itulah jejak kakiku yang sedang menggendongmu di saat kau terpuruk. Aku selalu berdoa pada Tuhan, agar Dia mengirimkan malaikat terbaik-Nya untuk menemani dan menjagamu setiap saat.

Apatah yang tak kuberikan padamu, langit cerahku? Jika kau meminta, aku selalu mencoba memberikan yang kau mau. Tak peduli lagi dengan diriku asal kau bahagia, asal kau tersenyum. Janganlah menangis, karena aku menderita karenanya. Tersenyumlah untuk menerangi duniaku, tersenyumlah untukku.

Cintailah aku sebagaimana aku mencintaimu. Kabulkanlah permohonanku akan sayangmu. Tangisku mengharu-biru mengenangmu, aku ingin kau bisa bersamaku. Selamanya, dan takkan pernah pudar. Cintaku masih dan akan selalu padamu semata.

- Dear Forever -

* * *

One day, one month, 2010.

Thursday, June 20, 2013

Aku Yang Tersakiti

Sajak ini dibuat bertahun-tahun yang lalu. Dan secara esensial sekiranya ini cocok untuk situasi hati dan perasaan yang sedang kualami sekarang. Selamat membaca dan merenungkan.

* * *

Dengarlah aku yang tersakiti ini:

Dimanakah santunmu, hai jalang? Gaungan suaraku kini perhatikan. Kau yang memohon setitik embun padaku saat terik, dan aku memberimu sehilir air. Tapi kini saat pagi teduh kau pergi. Memang apatah aku menyiksamu?

Setumpuk buku pedoman kini hampa di mataku, kosong tercabik sampah tak tahu malu. Mengapa melulu aku dikejar jalang sepertimu? Yang tak pernah ada sebab, main pergi tinggal tuan.

Setitik air pun dapat menghajar karang teguh, mengapa tega nian kau menggulingkan lahar panas, setelah semua rangkaian kebersamaan telah ku rela jalani?

Bakar saja hatiku lagi, masukkan aku ke dalam keranda. Lempar aku ke tengah samudera, buang aku ke buritan hingga tenggelam terbunuh setitik air, seperti yang kau minta dahulu!

Sudah habis asa, aku putus rasa. Sudah lenyap keindahan danau di mataku, bahkan dari anjungan nirwana sekalipun. Hanya ada sampah sepertimu!

Tak tahu malu membuang mutiara, walaupun berdebu sekalipun. “Dengarkan aku sekali lagi, dengarkan teriakanku, dengarkan gaungannya!” Jangan hanya pura-pura berjalan lewat. Apa kau belum juga terdamprat? Kata-kataku ini hanya jadi apa di matamu?

Mungkin kau hanya bisanya menindas angan seorang manusia, makhluk macam apa kau? Bau belerang pun tak lebih menyakiti daripada tingkahmu yang biadab!

Dengarkan aku sekali lagi, bahkan Tomas Akuinas pun ternganga mendengarku! Jangan coba-coba kau menumpahkan asam ke dadaku lagi. Aku sudah terlalu sakit, aku sudah muak terus sekarat seperti ini.

Bahkan seekor anak babi pun tahu aku merana. Tapi siapa yang berani hadapi cinta yang menyengsarakan, dan pelukan kehancuran, kepadanya Cinta Sejati akan datang. Ah, yang kau bisa hanya omong kosong!

Aku sakit, aku merana. Sudah mati rasa aku dibakar air panas darimu, biar aku hidup tanpamu, aku bisa dan lebih bisa tanpamu! Aku tak perlu, tak sudi lagi. Aku ingin pergi jauh, pergi ke hidup yang tanpamu, yang pasti lebih baik.

HABIS SUDAH SEMUA TENTANGMU!

* * *

Depok, November 2009.

Sunday, June 16, 2013

Our Concert

Saturday, June 15th, 2013, in St. John Chamber, Chatedral BMV Assumptae, Jakarta, a wonderful concert was held.

Ursula Canisius Voice Annual Concert 2013: Many Gifts, One Spirit!



After a long preparation from the beginning of this year by the committee with me as the chairman, we finally did this! A tribute to our schools, Canisius College Senior High School and Saint Ursula Senior High School. And so, for our parents that always support us in what we do to express our love in choir.

Father John Heru Hendarto, SJ

The concert started at 6.30 pm, opened by Father John Heru Hendarto, SJ, our principal and Mr. Agustinus Eko Andriyanto, our advisor.


The first song was Many Gifts, One Spirit, the theme song we chose, that was composed by Allen Pote. And then there were performances also from our alumna, Vides Vocem Choir, and few of our members.

Vides Vocem Choir

I, with two of my friends, Maria Tiffany and Astrid Susanto, sang a song from J. S. Bach "Air on G String" that was free translated by Hal Hopson to be "Lord, Have Mercy". Really a great composition.

Fany (Soprano), Me (Baritone), Astrid (Alto)

Every song went on really good, the best we made after a lot of practices. And the audiences were very pleased, they said to me. They said it was really cool and fascinating.

The concert ended at 9.30 pm, closed by Father Albert Buddy Haryadi, SJ, our prefect. The last song was Ampar Ampar Pisang, a Dayaknese folksong that brought us twice as a winner in national choir competitions, first in 2010 at Universitas Tarumanegara as 2nd winner, and in 2011 at Institut Pertanian Bogor as 3rd winner.

Clap Your Hands and Sing Hallelujah!

Special thanks for everyone involved to succeed this concert, for without whom we would not be able to do this. Especially for our director and conductor, Yudhi Ekaputra Kurniawan. Thanks a lot, everyone!




See you in our concert next year! :)


(all photos by Michael Jonathan Kosasih - http://www.facebook.com/michaelj.kosasih/media_set?set=a.679109528772016.1073741826.100000189265036&type=1)

Sunday, June 02, 2013

Sebuah Rahasia dan Curahan Hatiku, Wasiatku

dEedfjdle fvdledfsdde fvddemfdd ebfddqejf dvexfgddekf dpehfqdjehfudwelf dfedfudde fpdhepfeddeffddqebfdd,e fpdrekfrdqe fgdleefddfedf dgehfqdjedfqd eefldmedfndvedfqdde.f dWekfddqenfvd.e


* * *

fBddeqfjd ewfhdueffldqewfdd,e fndheofxddeufjddenfxd,e fkddewfldnexf,d eXfudvexfodde fFddeqfldvelfxdve fYdrelffdhe:f

dVexfdduedf dnedfodledfqd eefhdjelfwdxe fpdhepfldnedfwd ekfddwelfndxe fvddedfwd esfhduewfddpedf dnedfodle fddnexf dpehfqddewfddse fzddemfddke-fzddemfddke fbddeqfjd eefhdueqfbdderfbdle fgdheqfjddeqf dsehfqdxekf dkedfwdle fbddeqfjd ewfxdoexfvd,e fgddeofddpe fvdheefxddekf dnehfvdheufddjedfpddeqf dbedfqdje fldqegfddke.f dKedfwdle fgddeqf dselfndleufddqenfxd esfxdqe fpdhepfedxedfwd enfhdsexfwdxevfddqe fxdqewfxdne fpdheqfjddepfedleof dvehfedxedfkd eefddjelfddqe fbddeqfjd evfddqejfddwe fndheffldoe fgddeofddpe fndheefhduevfddpedfddqe fldwexf.d eNfhdgedfwddeqfjddeqfndxe fedhejfldwexf dpehfqdjejfhdpeeflduedfnddeqf.d eDfndxe fgdlevfddpeefxdwe fgdheqfjddeqf dsehfqdxekf dnehfuddepfddke-fwddepfddkedfqd,e fgdheqfjddeqf dsehfqdxekf dsehfqdheufldpedfddqe.f dDenfxd emfddwexfkd effldqewfdd esfddgedf dnedfodledfqd,e fsddegfdd enfldwedf.d eVfhdmedfnd evfdddewf dlewfxd ekfddwelfndxe fpdheqfhdpesfddwenfddqe fhdpesfddwelfqdbedf dbedfqdje fwdheufgddeofddpe fvdhewflddesf dgehfwdlenf dxeqfwdxenf dpehfqdfelfqdwedfld egfddqe fpdheqfbddebfddqejfld enfhdoexfdduejfddnexf,d egfddqe fsdlenflduedfqdnexf dpehfqdhewfddsenfddqe fsduelfrduelfwddevf dbedfqdje fwdheufwdleqfjdjelf,d epfhdoehfedlekfld enfhdgedfudxeufddwedfqd egfddqe fpdheofhdeelfkdle fvdhejfddoedf dnehfsdheqfwdleqfjddeqf dseufldeedfgdlenfxd epfddxesfxdqe fndhesfhdqewfldqejfddqe fndrepfxdqedfod egfddqe fndreofhdnewfldie fbddeqfjd eofddleqf.d eDfndxe fwdheufxdve fedheufddgedf dgedfoddepf dvedfwdxe fiduehfndxehfqdvelf deehfudvedfpdde fnddeoflddeqf,d eefhduevfddpedf dnelfwdde,f dbedf deehfudvedfpdde.f dVehflduelfqdje fzddenfwdxe fedheufmddeofddqe fndlewfdd ewfhdoedfkd epfhdqejfxdnelfud evfxddewfxd esfhduemfddoedfqddeqf dbedfqdje fgdlesfhdqexfkdle fndhejfhdpelfoddeqfjddeqf,d esfudhevfwddevfld,e fbddeqfjd eefhduexfmdxeqfjd esfddgedf dvexfddwexf dnehfjdhepfedleufdddeqf.d eVfhdpexfdd egfhdqejfddqe fvddewfxd effldqewfdd ebfddqejf dvedfpdde fgddeqf dwedfnd eefhduexfeddekf.d eNfhdsehfudjelfddqe fgddeqf dnehfgddewfddqejfddqe fedheefhduedfsdde fvddekfddeedfwd evfhdoedfodxe fpdheqfmddegfld enfhdvelfqddepfedxeqfjddeqf dgedfudle fndheofxddeufjdde fndlewfdd.e

fKdqeqfjdjedf dsedfgdde fvdxedfwdxe fvddedfwd eefddjelfddqe fndheffldoe fbddeqfjd enfxddepfedleof dgexfodxe fsdxeqf dpehfqdmedfgdle fvdhepfddnelfqd eefhdvedfud egfddqe fpdheqfmddegfld evfddqejfddwe fedhevfddue.f dNedfodledfqd ewfhdoedfkd epfhdpelfodlekfndxe fgddeqf dpehfpdsehfudfedfbddelfndxe fpdheqfmddegfld ebfddqejf dxewfddpedf dgelf ddeqfwddeufdd ebfddqejf doedfldqe.f dSeufldpexfvd elfqdwehfud esfdduehfvd.e fBdde,f ddenfxd enfddoelfddqe fqdreefddwenfddqe fpdheqfmddegfld evfhdreufddqejf dnehfwdxedf,d ebfddqejf deehfudwexfjddevf dpehfpdlepfsdleqf dsehfudmedfoddeqfddqe fndheofxddeufjdde fndlewfdd epfhdqeffddsedfld effldwedf-dfelfwdde fpdhepfddmexfnddeqf dgedfqd epfhdqejfkddeufxdpenfddqe fqddepfdd enfldwedf.d eDfndxe feddekfddjelfdd epfhdqegfddsedfwd enfhdsehfudfedfbddedfqd elfwdxe.f dGedfqd edfndxe fpdheqfhdjexfkdnedfqd ekfddwelf dgedfqd edfndxe fvdledfsd epfhdqehfpdeedfqd ewfxdjedfvd elfwdxe.f dDenfxd epfhdqejfxdpesfxdoenfddqe fvdhepfxdde frdsewfldpelfvdpehf dbedfqdje fddgedf dxeqfwdxenf dpehfpdeexfddwe fgddeqf dpehfqdbexfvdxeqf deehfudeedfjddelf duehfqdfedfqdde fndlewfdd,e fedheufvddepfdd erfuddeqfjd-erfuddeqfjd ebfddqejf deehfndheufmdde fedheufvddepfddnexf,d ebfddqejf dnexfsdheuffddebfdd egfddqe fndxeffldqewfdd.e fWdheufxdwedfpdde fgdledf,d ebfddqejf dnedfodledfqd esfldoelfkd epfhdqemfddgelf dsedfvddeqfjddeqfndxe,f dbedfqdje fwdlegfddne fsdheufqddekf dpehfqdgedfsddewf dsehfuddewflddeqfndxe fndxeufddqejf dgedfudlesfddgedf dvehfsdheufwdle fbddeqfjd enfxdeehfudlenfddqe fsddegfdd ebfddqejf doedfldqe.f

dGelf dpedfvdde-fpddevfdd edfzddeof ddenfxd eefhdnehfudmedf,d evfhdpexfdd eefhduemfddoedfqd eefddlenf-deedfldne fvddeemfdd.e fDdnexf deehfwdxeof-deehfwdxeof dpehfqdlenfpddewfld ewfxdjedfvdnexf.d eNfddoelfddqe fvdhepfxdde fwdheufodlekfddwe fedhejfldwexf dpehfqdgexfndxeqfjd egfddqe fvdheofddoexf dwehfudoelfeddewf.d eDfndxe fjdhepfedleufdd.e fZddemfddke-fzddemfddke feddeufxd ewfhdoelfkddewf deehfjdlewfxd eefhdwedfkd eefhduedfgdde fgddeofddpe fndheofxddeufjdde fldqelf.d eDfndxesfxdqe fedlevfdd epfhdoelfkddewf dvehfedxedfkd epfddvedf dgehfsddeqf dbedfqdje feddelfnd exfqdwexfnd enfldwedf.d eNfldwedf,d ezfddmedfkd-ezfddmedfkd eofddpedf,d ewfhdoedfkd eefhduekfddvelfod epfhdqehfpdxenfddqe fvdheefxddekf dnehfoddeqfmdxewfddqe feddejfld enfhdeehfudvedfpddedfqd elfqdle.f dDenfxd esfxdqe fodhejfdd epfhdqejfhdwedfkdxelf dnehfsddegfdd ekfddwelf dbedfqdje fvdhesfhduewfld edfsdde fddnedfqd enfxdeehfudlenfddqe fzddevflddewf dfelfqdwedfndxe fndhesfddgedf dnehfodxedfudjedf dleqfld.e fVdhepfxdde fvdxegfddke fwdheufodlekfddwe fedhejfldwexf dvehfpdsexfudqedf dgedfqd eefhdjelfwdxe fldqegfddke.f dWelfgddenf ddegfdd effhdoedf.d

eQfddpexfqd esfddgedf dvexfddwexf dvelfddqejf dbedfqdje fddjedfnd epfhdpeefldqejfxdqejfnddeqf,d edfndxe fpdxeofddle fpdheofldkedfwd edfgdde fvdheefxddekf dfehfoddekf ddeqfwddeufdd ezfddmedfkd eefdduexf dgedfqd ezfddmedfkd eofddpedf,d ebfddqejf dvehfpddenfldqe foddepfdd epfhdqemfddgelf dvehfedxedfkd emfxduedfqdje fbddeqfjd eufddvedfqdbedf deehfjdlewfxd ewfhduemfddoe fgddeqf deehfjdlewfxd egfddoedfpd,e fpdheqfjddenfddue fgdle fsdheufxdwe fsdheufsdheffddkedfqd.e fVdhenfxddewf dkedfwdle fgddeqf dwehfqddejfdd,e fddnexf deehfudvedfpdde fpdheufhdnedf dbedfqdje fsdhegfxdoelf,d eefhduexfvddekfdd epfhdqejfkdleofddqejfnddeqf dvehfnddewf dlewfxd egfdduelf dbedfqdje fwdheufvdhepfsdlewf dvedfpdsedfld ebfddqejf dvexfgddekf dpehfqdjedfqdjedf.d eDfndxe,f dvedfpdsedfld evfhdnedfuddeqfjd epfddvelfkd epfhdqeffdduelf-dfedfudle fvdheefddeeqfbdde.f dLewfxd evfddqejfddwe fpdheqfjdjedfqdjejfxdnexf.d ePfddvedfoddekf dbedfqdje fndhepfeddeofld epfhdpesfhdueefxduexfnd,e fpddenfldqe fkddeufld ehfqdwedfkd evfhdmedfnd enfddsedfqd,e fnddeoflddeqf dpexfoddelf dvexfvddekf dxeqfwdxenf dgelfddmedfnd eefhduenfxdpesfxdoe,f deedfldne fvdherfuddeqfjd epfddxesfxdqe feddeqfbddenf,d eefddlenf dxeqfwdxenf ddeofddvedfqd ebfddqejf dmehfoddevf ddewfddxe fwddenf dmehfodde,f ddewfddxe fgdleefxddewf-deexfddwe,f ddewfddxe fbddeqfjd esfddoelfqdje fpdheqfbdlenfvddenfxd:e fwddeqfsdde fddoedfvddeqf.d eNfddoelfddqe fpdheqfmddegfld evfhdpedfndleqf dmedfxdke fgddeufldnexf.d eGfddqe fddnexf dvedfqdjedfwd eefldqejfxdqejf.d eDfndxe fsddeqfldne,f dwedfnd ewfddkexf dsehfqdbehfeddeefqdbedf dvehfkdleqfjdjedf dwedfnd eefldvedf dpehfudxepfxdvenfddqe fvdheefxddekf dverfodxevfld.e fDdnexf dvehfoddeofxd eefhduewfddqebfdd-ewfddqebfdd,e fgdlepfddqedf dvedfoddekfqdbedf.d eDfsddenfddke fldqelf dvedfoddekfndxe?f dDesfdd enfddoelfddqe fpdhepfedheqffdlenfxd?e fOddeofxd emfldnedf dlebfdd,e fddsedf dvehfeddeefqdbedf dvehfpdxedf dlewfxd?e fDdnexf dpedfvdlekf dvedfmdde fedleqfjdxeqfjd egfddqe fwdheufxdve fpdheqffddeufld-effdduelf dsehfqdbehfeddeef dgedfudle fndhewfldgedfndsehfgdxeoflddeqf dnedfodledfqd ewfhduekfddgedfsd enfhdoexfdduejfdd enfldwedf dbedfqdje fvdhegfddqejf dneufldwelfvd elfqdle.f dDenfxd ewfddnexfwd enfldwedf dkedfqdfexfud,e fvdhesfhduewfld ebfddqejf dgelfuddepfddoenfddqe fsddeufdd evfhdvehfsdxekf-dvehfvdhesfxdke fbddeqfjd evfxdgedfkd esfhduejfld.e fWddesfld edfndxe fpdheqfrdoedfnd exfqdwexfnd epfhdpesfhdueffddbedfldqebfdd.e fDdnexf dbedfndleqf,d enfldwedf ddegfddoedfkd enfhdoexfdduejfdd ebfddqejf ddenfddqe fvdheofddoexf deehfudvedfwdxe,f dgedfqd ewfldgedfnd edfnddeqf dkedfqdfexfud ekfddqebfdd enfdduehfqdde fddnexf ddewfddxe fgdledf ddewfddxe fvdledfsddesfxdqe.f dDenfxd epfhdpelfodlenfld enfhdbedfndleqfddqe feddekfzdde fpddevfldke fddgedf dfelfqdwedf dgelf ddeqfwddeufdd enfldwedf.d

eNfhdpexfgdledfqd esfddgedf dvexfddwexf dpedfoddepf dbedfqdje fedhejfldwexf dnehfoddepf,d ebfddqejf dgelfsdheqfxdkelf dsehfudvehfwdheufxddeqf dgedfqd eufddwedfsddeqf dnehfvdhegfldkedfqd,e fvdherfuddeqfjd ebfddqejf dnexfddmedfnd eefhdueefldfedfudde fpdheqfddpesfdduenfxd egfddqe fedheufnddewfdd:e f“dNedfpdxe fkddeufxdve fvddegfddue.f dEehfudxeefddkeofddke.f dVehfpdxedf dreufddqejf dpehfpdeehfqdfelfpdxe fgddeqf dleqfjdleqf dnedfxd ehfqdbedfkd egfdduelf dnehfodxedfudjedf dleqfld.e”f dVehfwdlegfddne-fwdlegfddneqfbdde fedhejfldwexfoddekf dbedfqdje fndxewfddqejfnddesf dgedfudleqfbdde.f dSedfgdde fvddedfwd elfwdxe fddnexf dpehfqddeqfjdlevf.d eDfndxe fpdhepfxdnexfod-epfxdnexfod egfddgedfndxe fgddeqf deehfudwehfudledfnd-ewfhduelfddne fvdhesfhduewfld eefddmelfqdjedfqd.e FDDSEDF DVEDFODDEKFNDXE?F DDESFDD?e fDdnexf dleqfjdleqf dpedfwdle fvddemfdd.e fDdnexf deelfqdjexfqdje.f dGelfdd eefldoedfqdje,f ddenfxd elfqdle fsdheqfgdxevfwdde,f dsehfqdjedfgdxe fgdrepfedde,f dsehfqdjekfddvexfwd,e fgddeqf doehfedlekf dmedfkddewf doedfjdle:f ddenfxd elfqdle fwdxenfddqejf dielfwdqedfkd.e fKddewfldnexf dwehfudvedfbddewf-dvedfbddewf dpehfqdgehfqdjedfudqebfdd.e fDdsedfnddekf dbedfqdje fwdheofddke fvddeofddke fndxesfhdueefxddewf dvedfpdsedfld enfddoelfddqe fpdheqfjddeqfjdjedfsdnexf dvehfsdheufwdle fldwexf?d eSfddgedf dzedfndwexf dlewfxd edfndxe fedheqffdle fvdhenfddoelf dgehfqdjedfqd enfddoelfddqe fgddeqf dgehfqdjedfqd egflduelfndxe.f dDenfxd evfhdpesfddwe fwddenf dvedfqdjejfxdse fpdheqfxdoelfvd elfqdle fvdhepfxdde,f dnedfudheqfdd eefhdwedfsddesfxdqe fsddegfdd evfdddewf dlewfxd edfndxe fedheqffdle,f dwehfwddesfld effldqewfddnexf dwelfgddenf dsehfudqedfkd eefhduenfxduedfqdje fxdqewfxdne fnddeoflddeqf,d exfqdwexfnd enfldwedf,d exfqdwexfnd enfhdoexfdduejfdd elfqdle,f dnehfodxedfudjedf dnelfwdde.f dNehfqddesfdd enfddoelfddqe fwdlegfddne fwdhejfxdue fvddemfdd edfndxe fmdlenfdd edfndxe fedheufedxedfwd evfxddewfxd enfhdvedfoddekfddqe?f dNehfqddesfdd enfddoelfddqe fwdlegfddne fedleofddqejf dsedfgddenfxd edfsdde-fddsedf dgedfqd ekfddqebfdd epfhdqejfkdleqfgddeuf dgedfqd eofdduelf deehfjdlewfxd evfddmedf dpehfqdheofddqewfdduenfddqe fndheofxddeufjdde fldqelf?d ENFHDQEDFSDDE?f dMedfqdjedfqd evfldpesfddqe fndheefhdqefflddeqf dnedfodledfqd ewfhduekfddgedfsdnexf.d eDfndxe fpdrekfrdqe,f deehfudlewfddkexf ddenfxd edfsdde fbddeqfjd ekfdduexfvd enfxdoedfndxenfddqe fvdhenfdduedfqdje?f

dWedfsdle fndleqfld edfndxe fkddeqfbdde fsddevfuddekf.d eDfndxe fwdlegfddne fedlevfdd egfddqe fwdlegfddne fddnedfqd eefhdueefxddewf ddesfdd-edfsdde.f dPexfoddelf dgedfudle fvdhenfdduedfqdje fddnexf dkedfqdbedf ddenfddqe fgdledfpd evfddmedf.d ePfhdqelfndpedfwdle fddnekfldue fpddevfdd enfhdeehfuddegfdddeqfndxe fgdle fwdheqfjddekf dnehfodxedfudjedf dleqfld,e fkdleqfjdjedf dsedfgdde fvddedfwdqebfdd edfndxe fddnedfqd ekfldoedfqdje,f doehfqdbedfsd egfddqe fddnedfqd egfldjedfqdwelfnddeqf dreofhdke fvdheefxddekf dseufldeedfgdle fbddeqfjd eefdduexf.d eDfndxe fkddeufddse fnddeoflddeqf deelfvdde fpdheqffdleqfwddelf dgedfqd epfhdqegfxdnexfqdjeqfbdde,f dvelfddsedfsdxeqf dbedfqdje fddnedfqd enfddoelfddqe fsdleofldke fqddeqfwdle fxdqewfxdne fpdheqfjdjehfpdeedfoddenfddqe fndheofxddeufjdde fndlewfdd elfqdle.f dPedfddienfddqe fddnexf dwelfgddenf deelfvdde fpdheqfmddegfld evfhdsehfudwelf dbedfqdje fnddeoflddeqf dleqfjdleqfld.e fPddedfidnedfqd ewfhdoedfkd epfhdpeefxddewf dnedfodledfqd epfhduedfvdde fwdheufjddeqfjdjexf dnedfudheqfdd edfndxe.f dPedfddienfddqe fddnexf dwehfoddekf dpehfqdxeofldve fndheefrdgerfkddeqf dleqfld.e fDdnexf dwedfkdxe fnddeoflddeqf dwelfgddenf dsehfgdxeofld.e fVdhenfddoelf doedfjdle,f dpedfddienfddqe fddnexf.d eDfndxe fddnedfqd evfhdoedfodxe fedheufxdvedfkdde fedheufxdeedfkd epfhdqemfddgelf dvehfvdherfuddeqfjd ebfddqejf deelfvdde fnddeoflddeqf dfelfqdwedfld.e

fNdhewfddkexfldoedfkd,e fddnexf dvehfoddeofxd,e fgddeqf ddenfddqe fvdheofddoexf,d epfhdqebfddbedfqdjelf dnedfodledfqd.e

FBDREXF DVEHFHD EWFKDHE FYDRELFFDHE


* * *


Jakarta, 2 Juni 2013

Thursday, May 30, 2013

Kumbang Bodoh yang Belajar Mencinta

Pada suatu fajar yang masih ragu, ketika sinar masih sirna dan cakrawala masih sendu, di hadapan layar-layar yang berkibar di balik ufuk menjulang tegak, seekor kumbang bercita-cita membangun sebuah sarang baru yang penuh kegemilangan, demi membalas nestapa yang lalu.

Kumbang yang bodoh itu mulai mencari-cari sepanjang musim yang terus berganti, beberapa onggok kayu, baik sebilah barang seranting. Mereka-reka pojok dedaunan yang mampu menahan kebesaran niatnya, menjangkau pelepah yang bisa menandingi ketinggian hasratnya.

Sambil bersiul, kegemarannya, ia perlahan-lahan merajut serat-serat yang dipilinnya dengan penuh kesabaran hingga purnalah kediamannya. Ia lalu membuat beberapa pertemanan dan mengundang serangga-serangga lain, umumnya yang sama besar dengannya, dan banyak yang lebih kecil. Ia menginisiasi sebuah paguyuban dan merumuskan asas-asas dengan kepandaiannya, hingga makmurlah setiap dari mereka dan harumlah nama perkumpulan itu.

Tetapi satu dari mereka, seekor ngengat dengan sayap nan agung, membentang dari tulangnya yang terkecil hingga jantung hatinya, membawa pengaruh yang ampuhnya menandingi si kumbang. Tetapi kearifan mereka menyatukan dan kekokohan mereka menjadi begitu tegar.

Kemudian tanpa hasrat sanggup menahan, si kumbang bodoh ini bercengkerama dengan seekor kupu-kupu. Kebodohannya menjadikan senda gurau yang diucapkannya tanpa kegelisahan menjadi buah bibir bagi yang memiliki bibir. Dia tahu betul bahwa mulutnya tidak berujar kepalsuan, namun ia akhirnya sadar bahwa terlalu lancang bagi angin jika ingin memasuki gua tanpa melalui air terjun yang menjadikannya busa.

Ia bingung. Seketika semua mata membakar pandangannya, semua keberadaan mengusik indera-inderanya. "Apa yang bisa menjadi sangat berkelanjutan hingga tidak ada satu kesadaran pun yang bisa melenyapkan kebebalannya?" batinnya. Lalu jikalau sungguh mau dikatakan selayaknya awan telah melukiskan di horison, daya apa yang sanggup mengubah yang tidak ada menjadi ada? Dan apa yang bisa ditambah atau dikurangi dari tidak ada? Malahan apakah ketidak adaan itu ada?

Ketika akhirnya ia menyerah, maka dibiarkannyalah perasaan, yang tak terselesaikan itu dibawa air yang menguap sebelum hujan yang menghapuskan segala jejak-jejak sebuah kenistaan yang datang dari sebuah keberadaan yang tidak terkonsepkan, yang tidak pernah bisa diketahui oleh kumbang itu tentang dirinya.

Kumbang yang bodoh dan sudah lelah itu pasrah kepada sang kebenaran, jikalau ada. Hanya satu harapannya, supaya ia tidak kehilangan dirinya, agar yang lain pun melihatnya tanpa sejengkalpun citra melekat. Ya, dirinya yang sejati, yang penuh cinta, mencinta, dan dicinta.

Dan lihat! Ternyata masih ada satu keranjang penuh cinta yang tetap disampaikan kepadanya, dengan isyarat maupun tak terlihat. Dan semua itu cukup baginya untuk meninggalkan semua getaran kedengkian yang diberikan maupun diterimanya.

Kumbang bodoh ini pun belajar mencinta yang sesungguhnya, bersama segenap sisa subjek-subjek cinta yang siap dijadikannya objek cinta terbesarnya, dan segala subjek kebencian yang siap diubah menjadi saluran cintanya.


Apakah ada yang masih mau membuang tenaganya dan membohongi dirinya untuk membenci si kumbang? :)

Friday, May 24, 2013

UCV Concert 2013: Many Gifts, One Spirit

Sebagai sebuah rasa syukur dan terima kasih kepada orang tua kami serta tanda cinta kami terhadap sekolah kami SMA Kanisius dan SMA Santa Ursula, Paduan Suara Ursula Canisius Voice (UCV) mempersembahkan sebuah konser yang bertemakan "Many Gifts, One Spirit".

Pesan yang ingin kami sampaikan melalui konser ini adalah bahwa setiap manusia diberi bakat dan talenta yang berbeda-beda dan memiliki kebaikannya masing-masing dalam satu roh yang sama. Begitupun dengan kami, setiap dari anggota memiliki kemampuan yang berbeda-beda, tetapi kami dapat bernyanyi bersama sebagai satu keluarga dalam satu roh dan semangat yang solid. Semoga pesan ini tersampaikan kepada semua yang menyaksikannya.

Konser ini adalah sebuah persembahan yang tulus dan bukan komersial. Setiap bagian dari keluarga besar SMA Kanisius dan SMA Santa Ursula memiliki kesempatan menyaksikannya dengan cara memesan FREE TICKET (sesuai kapasitas yang masih tersedia).

Secara khusus dalam konser ini kami mengundang orang tua dari masing-masing anggota, pejabat sekolah, dan guru-guru kami yang nantinya tidak perlu memesan tiket melainkan akan mendapat undangan khusus.




Untuk info lebih lanjut, hubungi Contact Person yang tertera:
Bimo 08561943462 / 087886203754
Claudia 087885879733
Yudhi 08179818295 / BB: 28D89C74


* * *

See the after concert article here.

Monday, May 20, 2013

Declaration of International Citizenship

As an active member of the international community and as an ambassador of peace, I hereby declare to uphold the ideals of the World School set before me in the pursuit of knowledge and good faith.


Be open-minded

Practice kindness, sensitivity and compassion

Treasure a sense of wonder and curiosity

Be flexible

Show respect at all times towards other peoples' beliefs and traditions

Always assume a person knows something you do not

Learn to trust and be trusted

Understand that your way is not always the best or right way

Know and believe that all people are equal regardless of race, color, gender or religion

Speak in a language that can be understood by all those present, even if this is difficult for you to do so

To make yourself understood, practice speaking slowly and clearly

Look and listen with your heart and mind

Understand that we are the earth's guardiansm not its owners; therefore, be good caretakers


Friday, May 10, 2013

Kabar Saat Mendung

Aku akan mulai dengan tiupan sangkakala yang menggelegar, disertai gemericik bintang yang berpendar di kejauhan angkasa beraneka warna, ketika garis tepi harus dicoret di buku baru.

Berlian biru itu aku serahkan pada hyang widi, agar sang rembulan tidak murka padanya. Meskipun pada akhirnya aku tiada bersama rembulan lagi hanya karena bunga di tepi jalan itu. Lagipula, pilih mana seekor kumbang, terbang menuju rembulan apatah mampir di kembang-kembang menawan?

Harum sekali sampai hilang wewangian dalam napas yang seakan tersengal-sengal ini. Tapi seperti candu yang nikmat, pada akhirnya akan kadaluarsa. Menemukan kembali serbuk sari? Seperti anjing bodoh yang mengejar ekornya. Seperti yang kubilang, telah habis tanggal tayang, tinggal mengingat sensasi yang ditampung memori. Mau dilepas takut berdosa, tapi mau ditahan takut mati dua kali.

Setidaknya, gurun sempat kehujanan. Ramai-ramai berjatuhan tetes embun yang menyegarkan seperti soda api, sejuk dan segar. Tapi paman sam sudah mengajariku bahwa tidak ada musim semi atau musim panas yang berlangsung selamanya. Aku hanya bisa menikmati sensasinya sambil sedikit demi sedikit lenyap, hingga akhirnya tangkainya pun dimakan semut rangrang, digerogoti oleh kutu yang menggelikan.

Tampaknya memang cerah, namun hanya pantulan dari hasrat mendalam dari naluri seekor binatang yang punya - walaupun setitik - perasaan cinta. Aku sudah bisa melihat awan hitam yang kembali beriringan dari kejauhan di ufuk sana, sementara kumbang-kumbang yang buta masih ingin bersama dengan bunga-bunga yang hampir pupus, layu.

Sampai saat ini masih mendung. Akankah cerah kembali?

Mungkin butuh cinta abadi dari sejatinya diri.

Tuesday, May 07, 2013

AKU Sadar

PERINGATAN: Jika Anda adalah orang yang taat beragama, atau orang yang menganut kepercayaan tertentu, tidak perlu melanjutkan untuk membaca ini. Tulisan ini hanya dapat dibaca orang yang sungguh terbuka, penuh rasa ingin tahu, dan tidak dihalangi oleh sekat apapun termasuk kepercayaannya sendiri apalagi kepercayaan orang lain. Ingat, Anda sudah diperingatkan. Selamat membaca.

* * *

AKU sadar:

pertama-tama dan yang utama bahwa segala label dan nama-nama yang bisa dan telah aku dapatkan ataupun berikan, tidak pernah bisa membuat AKU menjadi berbeda;

bahwa segala kecerobohan yang bisa dan telah aku lakukan, tidak pernah bisa membuat AKU menjadi ceroboh;

bahwa segala ketidak pedulian yang bisa dan telah aku lakukan, tidak pernah bisa membuat AKU menjadi tidak peduli;

bahwa segala kerusakan dan perusakan yang bisa dan telah aku lakukan, tidak pernah bisa membuat AKU menjadi rusak;

bahwa segala kejahatan dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan yang bisa dan telah aku lakukan, tidak pernah bisa membuat AKU menjadi jahat;

bahwa segala penghinaan dan kehinaan yang bisa dan telah aku lakukan, tidak pernah bisa membuat AKU menjadi hina;

bahwa segala kesesatan dan penyesatan yang bisa dan telah aku lakukan, tidak pernah bisa membuat AKU menjadi sesat;

bahwa segala kegelapan dan penggelapan yang bisa dan telah aku lakukan, tidak pernah bisa membuat AKU menjadi gelap;

terakhir dan tetap yang utama, bahwa segala hal-hal tentang dosa yang bisa dan telah aku lakukan, tidak pernah bisa membuat AKU menjadi berdosa.

Dan AKU tidak akan mengatakan bahwa segala (kecerobohan, ketidak pedulian, kerusakan dan perusakan, kejahatan, penghinaan dan kehinaan, kesesatan dan penyesatan, kegelapan dan penggelapan, dan hal-hal tentang) dosa kulakukan dengan sadar maupun tidak sadar.

Sebab semua itu pasti berada dalam ketidaksadaran, karena aku selalu tidak sadar, tetapi AKU sadar.


* * *

(Tulisan ini adalah semata-mata hasil perenungan yang dilakukan secara bebas, dan tanpa ada tujuan dan maksud tertentu, apalagi yang menyangkut kepercayaan orang lain.)

Sunday, April 28, 2013

AKU

PERINGATAN: Jika Anda adalah orang yang taat beragama, atau orang yang menganut kepercayaan tertentu, tidak perlu melanjutkan untuk membaca ini. Tulisan ini hanya dapat dibaca orang yang sungguh terbuka, penuh rasa ingin tahu, dan tidak dihalangi oleh sekat apapun termasuk kepercayaannya sendiri apalagi kepercayaan orang lain. Ingat, Anda sudah diperingatkan. Selamat membaca.

* * *

AKU adalah manusia.

AKU dilahirkan pada suatu waktu, yang aku namakan hari, tanggal, bulan, dan tahun.

AKU ada di sini, di tempat yang aku namakan rumah.

AKU bersama DIA yang aku namakan ayah, DIA yang aku namakan ibu, dan MEREKA yang aku namakan saudara.

AKU mencintai mereka semua.

AKU mencintai segala hal, tetapi aku paling mencintai diriku sendiri.

AKU sudah bahagia, tetapi aku terus mencari-cari kebahagiaan.

AKU menemukan kebahagiaan dalam TUHAN, tetapi seringkali aku meragukan Tuhan.

Bagaimanapun, AKU adalah AKU, dan TUHAN adalah TUHAN.

AKU bukanlah aku, dan TUHAN bukanlah Tuhan.

Karena AKU bukanlah Tuhan, dan TUHAN bukanlah aku, akhirnya AKU sadar bahwa:

AKU adalah TUHAN.

* * *

(Tulisan ini adalah semata-mata hasil perenungan yang dilakukan secara bebas, dan tanpa ada tujuan dan maksud tertentu, apalagi yang menyangkut kepercayaan orang lain.)

Sunday, April 21, 2013

Dua Bukan Satu

Aku tahu magnet. Dia punya dua kutub. Orang bilang Utara dan Selatan, merah dan biru, hitam dan putih, atau negatif dan positif, apapun. Setiap dari mereka akan menarik yang berbeda dan menolak yang sama. Mereka dua dan bisa bersatu. Tapi dua tetap bukan satu.

Aku tahu matahari. Dia punya cahaya dan mengeluarkannya setiap saat. Mereka muncul bersamaan. Mereka dua dan muncul sebagai satu. Tetapi mereka bukan satu dan bukan juga dua. Dan dua tetap bukan satu.

Aku juga tahu lautan. Dia sangat besar. Dia punya ombak di setiap sudutnya. Ombak bergelung di setiap penjuru lautan. Mereka bergerak bersamaan, timbul dan hilang. Mereka bukan satu, tapi juga bukan dua. Dua tetap saja bukan satu.

Dualisme berada dimana-mana dan terus terjadi dalam hidupku, membuatku terjebak dalam penyatuan-penyatuan yang bukan esensi. Aku ini api yang selalu mencoba bersatu dengan air, namun apa daya jika ruang dan waktu tidak merestui. Aku harus berpisah dari air, dan mencoba mencari kesatuanku. Beruntung jika aku bisa menemukan api lainnya, tapi itu masalah nanti.

Kini aku bingung harus bilang apa pada air, sementara kala terus mendesakku untuk meninggalkannya. Apakah semua air yang menguap dan api yang padam yang telah kami korbankan demi sebuah kebersamaan akan tidak berguna dan dianggap lalu begitu saja?

Dua itu menandakan perbedaan realita dan tidak bisa diterima semesta. Salahku sejak awal inilah, yang mencoba menyatukan dua. Padahal dua bukan satu. Dan tak bisa bersatu.

Jadi aku harus apa?

Monday, April 15, 2013

Bodoh.

Aku tertipu dengan jubah lima rangkai yang dikenakannya. Kukira dia sejati, namun dalamnya sama saja. Ternyata hanya penggembira, seperti biasa, bahkan yang ini tak punya permata barang sebutir. Hebat, aku bisa tidak melihatnya. Lalu apa?

Merpati sudah terlanjur bersarang. Bagaimana cara memisahkannya tanpa membunuhnya? Bagaimana cara menyibakkan jubahnya tanpa membuatnya telanjang? ah, bodohnya aku baru menyadarinya sekarang. Ini sama saja tinggal tunggu mati. Pokoknya jangan sampai dia bawa bunga.

Ini karena aku yang bodoh, tidak teliti sebelum membeli. Alhasil, tidak juga garansi dapat menjaminnya. Tahu begini buat apa aku susah-susah bertengkar dengan pemilik toko? Toh tidak ada yang begitu cakap dari barang itu, hanya penjualnya saja yang pilih-pilih pembeli.

Ya mau bagaimana lagi? Aku bodoh.

Bodoh.

Sunday, March 31, 2013

A Better Home

In order to participate in "Lomba Cipta Lagu Eco-Music Creativities Keuskupan Agung Jakarta", Canisius College presents an art work of our students.

A Better Home (Official) - Youtube

So, this song was made by me and my friend, Kristian Wirjadi. We both made the melodies, then I made the lyrics and arranged the song.
I sang the song and my friend Reno Prasasto played the guitar (he looks like a pro, doesn't he? haha)
My classmate, Giovanni Juwono Seto, made the video clip.

AND WE DID ALL OF THAT IN 2 DAYS ONLY! hahaha :p

I'm really really sorry for the mistake we made in the video that you might be confused with that "organic" stuffs. But what we are trying to say is the message of environment-and-nature-loving that we all must understand so that we could do something to make the world "A Better Home".

Lyrics :

How great is our universe
with all its living things?
Wondrous work of our God!
Everyday and along the night,
each and every being
marvel all creation.

Plants and all animals,
in all diversity,
live together as one.
Harmony of our nature
brings the greater beauty
to this heavenly world.

What have we done to Earth?
Now the greenies have changed into grey.
It’s our fault
that it’s weakening.
So, what can we do to save our home?

Let us start to fix the earth
and help the nature heal.
We can’t let it be anymore worse.
Make it stronger, hold it longer,
yes, we can repair the world,
make it a better home for every soul.

Stand up and still,
take the nature in your arms.
From now on to forever,
it’s our duty and promise:
to help the Earth living.

Let us start to fix the earth
and help the nature heal.
We can’t let it be anymore worse.
Make it stronger, hold it longer,
yes, we can repair the world,
make it a better home for every soul.

Make it home for every soul.



Please like it on youtube to support us :)

ENJOY!

Monday, February 18, 2013

Kau Inspirasiku

KAU INSPIRASIKU (You Are My Inspiration)
I made this song on February 9th, 2013. This song simply shows my feeling for a special girl. Some of the lyrics are inspired from her poems. It was free-recorded by my cousin when I sang it while playing the piano myself. You can download or listen to the song by clicking here.

The original lyrics in Indonesian:

Kau datang membawa angan-angan
ke dalam hari-hariku yang kelam
Bersamamu kuukir canda tawa
seperti orang bodoh dimabuk cinta

Kau, kau yang selalu ada di hati
dan kau, kau yang telah membuatku terbang tinggi
Kau inspirasiku

Tak pernah ragu, tak juga bimbang
sejak hari itu kuucapkan kata cinta
S'luruh jiwaku, nada dan lagu
hanya untuk dirimu, tiada yang lain di sisiku

Hanya kamu menghiasi relung yang dulu berdebu
dan aku kan mengaku kepada dunia bahwa kucinta padamu

Kau inspirasiku, kau kekasihku
Semua yang ada dalam hidupku, kamulah jawabannya.

And this is the free translation:

You came and brought a new hope
into my dark days.
With you, I laugh
like a love-drunken idiot.

You are the one who's always in my heart,
and you are the one who've made me fly high,
you're my inspiration.

No hesitation, no doubt,
since that day I can say the word "love".
My whole soul, melodies and songs,
are only for you.

It's only you that has embellished this first dusty recesses.
And I will make my confession to the world for I love you.

You're my inspiration, my lover.
For everything in my life, you are the answer.

I hope you enjoy it!

Friday, February 08, 2013

Untukmu Inspirasiku

Kau datang membawa suatu asa, dengan semangat dan harapan baru, memberiku suatu daya dan sebuah pikiran penuh warna. Imajinasi yang berkelana dari dasar samudera hingga langit ketujuh, menemukan sebuah inspirasi dari untaian kata-kata dan gelak dari dua lapis bibir yang melenting, membentuk suatu anyaman yang bersenandung membawa kegembiraan. Ria-ria hatiku.

Waktu telah memamerkan ketakterbatasannya dengan menghunjukkanku kepada dirimu. Dari suatu perjumpaan tanpa identitas hingga sebuah letupan perasaan yang membakar api-api asmara dan hasrat untuk memiliki. Seperti sebuah boga, aku bisa merasakan sebuah sentuhan darimu yang datang tiba-tiba, dengan mantap menampilkan dirimu apa adanya dengan semua keunikannya, yang mencirikan dirimu sesungguhnya. Bolehkah aku mencicipimu? Aduhai, indahnya cinta yang melambung jauh ke awang-awang.

Bergetar penuh, menciptakan kebisingan yang sangat memekikkan telinga. Namun hening. Memercik-mercik di atas telaga, meraung-raung di dalam gua. Ah, aku sangat penasaran. Misteri akan dirimu terus membayangi dan menyemarakkan hari-hari yang jahat ini. Indah, sangat indah. Aku ingin mengenalmu lebih dalam.

Menanti-nanti kapan datangnya fajar yang membawa kepada sebuah perjumpaan, dengan penuh perasaan menunggu suatu pemenuhan hasrat ingin bercumbu. Mestinya aku tahu apa yang harus kuperbuat, tapi nyatanya tidak. Aku buta karena cinta. Dalam kegelapan ini, hanya kurasakan dirimu berbicara padaku, memberikan sandi-sandi untuk kupecahkan.

Seluruh pertanyaan-pertanyaan akan kebersamaan, dalam kepribadianmu yang sungguh menawan dan memikat, semua seakan-akan buntu. Aku haus dan tak dapat minum lagi.

Aku ingin itu. Dirimu. Inspirasiku.

Jakarta, February 8th, 2013.