Pada suatu fajar yang masih ragu, ketika sinar masih sirna dan cakrawala masih sendu, di hadapan layar-layar yang berkibar di balik ufuk menjulang tegak, seekor kumbang bercita-cita membangun sebuah sarang baru yang penuh kegemilangan, demi membalas nestapa yang lalu.
Kumbang yang bodoh itu mulai mencari-cari sepanjang musim yang terus berganti, beberapa onggok kayu, baik sebilah barang seranting. Mereka-reka pojok dedaunan yang mampu menahan kebesaran niatnya, menjangkau pelepah yang bisa menandingi ketinggian hasratnya.
Sambil bersiul, kegemarannya, ia perlahan-lahan merajut serat-serat yang dipilinnya dengan penuh kesabaran hingga purnalah kediamannya. Ia lalu membuat beberapa pertemanan dan mengundang serangga-serangga lain, umumnya yang sama besar dengannya, dan banyak yang lebih kecil. Ia menginisiasi sebuah paguyuban dan merumuskan asas-asas dengan kepandaiannya, hingga makmurlah setiap dari mereka dan harumlah nama perkumpulan itu.
Tetapi satu dari mereka, seekor ngengat dengan sayap nan agung, membentang dari tulangnya yang terkecil hingga jantung hatinya, membawa pengaruh yang ampuhnya menandingi si kumbang. Tetapi kearifan mereka menyatukan dan kekokohan mereka menjadi begitu tegar.
Kemudian tanpa hasrat sanggup menahan, si kumbang bodoh ini bercengkerama dengan seekor kupu-kupu. Kebodohannya menjadikan senda gurau yang diucapkannya tanpa kegelisahan menjadi buah bibir bagi yang memiliki bibir. Dia tahu betul bahwa mulutnya tidak berujar kepalsuan, namun ia akhirnya sadar bahwa terlalu lancang bagi angin jika ingin memasuki gua tanpa melalui air terjun yang menjadikannya busa.
Ia bingung. Seketika semua mata membakar pandangannya, semua keberadaan mengusik indera-inderanya. "Apa yang bisa menjadi sangat berkelanjutan hingga tidak ada satu kesadaran pun yang bisa melenyapkan kebebalannya?" batinnya. Lalu jikalau sungguh mau dikatakan selayaknya awan telah melukiskan di horison, daya apa yang sanggup mengubah yang tidak ada menjadi ada? Dan apa yang bisa ditambah atau dikurangi dari tidak ada? Malahan apakah ketidak adaan itu ada?
Ketika akhirnya ia menyerah, maka dibiarkannyalah perasaan, yang tak terselesaikan itu dibawa air yang menguap sebelum hujan yang menghapuskan segala jejak-jejak sebuah kenistaan yang datang dari sebuah keberadaan yang tidak terkonsepkan, yang tidak pernah bisa diketahui oleh kumbang itu tentang dirinya.
Kumbang yang bodoh dan sudah lelah itu pasrah kepada sang kebenaran, jikalau ada. Hanya satu harapannya, supaya ia tidak kehilangan dirinya, agar yang lain pun melihatnya tanpa sejengkalpun citra melekat. Ya, dirinya yang sejati, yang penuh cinta, mencinta, dan dicinta.
Dan lihat! Ternyata masih ada satu keranjang penuh cinta yang tetap disampaikan kepadanya, dengan isyarat maupun tak terlihat. Dan semua itu cukup baginya untuk meninggalkan semua getaran kedengkian yang diberikan maupun diterimanya.
Kumbang bodoh ini pun belajar mencinta yang sesungguhnya, bersama segenap sisa subjek-subjek cinta yang siap dijadikannya objek cinta terbesarnya, dan segala subjek kebencian yang siap diubah menjadi saluran cintanya.
Apakah ada yang masih mau membuang tenaganya dan membohongi dirinya untuk membenci si kumbang? :)
No comments:
Post a Comment