Aku tahu magnet. Dia punya dua kutub. Orang bilang Utara dan Selatan, merah dan biru, hitam dan putih, atau negatif dan positif, apapun. Setiap dari mereka akan menarik yang berbeda dan menolak yang sama. Mereka dua dan bisa bersatu. Tapi dua tetap bukan satu.
Aku tahu matahari. Dia punya cahaya dan mengeluarkannya setiap saat. Mereka muncul bersamaan. Mereka dua dan muncul sebagai satu. Tetapi mereka bukan satu dan bukan juga dua. Dan dua tetap bukan satu.
Aku juga tahu lautan. Dia sangat besar. Dia punya ombak di setiap sudutnya. Ombak bergelung di setiap penjuru lautan. Mereka bergerak bersamaan, timbul dan hilang. Mereka bukan satu, tapi juga bukan dua. Dua tetap saja bukan satu.
Dualisme berada dimana-mana dan terus terjadi dalam hidupku, membuatku terjebak dalam penyatuan-penyatuan yang bukan esensi. Aku ini api yang selalu mencoba bersatu dengan air, namun apa daya jika ruang dan waktu tidak merestui. Aku harus berpisah dari air, dan mencoba mencari kesatuanku. Beruntung jika aku bisa menemukan api lainnya, tapi itu masalah nanti.
Kini aku bingung harus bilang apa pada air, sementara kala terus mendesakku untuk meninggalkannya. Apakah semua air yang menguap dan api yang padam yang telah kami korbankan demi sebuah kebersamaan akan tidak berguna dan dianggap lalu begitu saja?
Dua itu menandakan perbedaan realita dan tidak bisa diterima semesta. Salahku sejak awal inilah, yang mencoba menyatukan dua. Padahal dua bukan satu. Dan tak bisa bersatu.
Jadi aku harus apa?
No comments:
Post a Comment