Ketika fajar burung gagak itu hanya melihat sang merpati sebagai sepasang sayap yang turut berkibar di angkasa. Sampai surya merentangkan jemarinya dari ujung bumi ke ujung lautan, tetap saja lalu lalang begitu saja di mata gagak. Dengan niat secukupnya untuk sekadar menambah cakrawalanya, gagak itu berani memulai sebuah senda gurau dengan si merpati. Tentu saja, tanpa ada maksud untuk menjadikan situasi lebih dari sekadar perbincangan.
Namun sebuah kegerakan hati yang menggubah perasaan membuat keduanya makin erat, dengan semua tantangan yang mereka lintasi beriringan di udara yang begitu jahat. Dari hanya beberapa kata penghibur dan penggembira suasana, keduanya kini rela jika harus mencabuti semua bulunya demi sang sahabat.
Kemudian diam-diam sang gagak menaruh hati kepada merpati. Mulanya kebingungan melanda hatinya. Tapi dengan keberanian dan penuh kepercayaan, gagak pun menyatakannya kepada sang merpati, dengan cara yang halus dan penuh kepasrahan. Ketika kemudian sang merpati menerimanya dengan senyuman, si gagak meloncat-loncat kegirangan.
Gagak tiba-tiba terhenyak ketika sadar bahwa cintanya terlarang. Bagaimana mungkin gagak bersama dengan seekor merpati? Tanpa sadar ia menangis, hatinya begitu hancur. Terlebih, sang merpati tampak tidak peduli akan apa yang sedang menjadi pergulatan hati si gagak. Mungkin merpati itu menganggap semua hanya hal yang biasa saja dan akan hilang dengan sendirinya bersamaan dengan semakin jauhnya hubungan mereka, dan datangnya merpati lain yang siap bersanding dengannya.
Kini gagak yang telah remuk hatinya, bertengger di ranting pinus tempat dimana mereka berdua biasa kumpul, berharap-harap merpati kecintaannya itu ingat padanya dan mau lagi berbagi rasa dengannya. Gagak itu terus menanti, meski ia tahu cintanya terlarang.
Cinta itu buta. Ya, dan aku telah terjebak di dalamnya.






