Di sehela nafasku kau embusan kecewa,
di sekedip mataku kau tatapan curiga,
di sekelebat telingaku kau suara rana,
di seucap bibirku kau ratap sengsara,
di sela kulitku kau sayatan luka,
di cakrawala diriku kau lautan duka,
duhai angkara murka.
Di sehela nafasku kau embusan kecewa,
di sekedip mataku kau tatapan curiga,
di sekelebat telingaku kau suara rana,
di seucap bibirku kau ratap sengsara,
di sela kulitku kau sayatan luka,
di cakrawala diriku kau lautan duka,
duhai angkara murka.
Kita bicara soal diri. Diriku, dirimu, diri kita.
Kita bicara soal bahagia. Bahagiaku, bahagiamu, bahagia kita.
Kita lahir sebagai diri, kita mati sebagai diri.
Sesudah lalu sebelumnya, kita hidup untuk bahagia.
Diri yang bahagia.
Diriku bahagiaku, dirimu bahagiamu.
Diri kita bahagia kita.
Percuma saja mencari bahagia sementara kaubiarkan diri hilang.
Sama sia-sianya mencari diri tanpa berbahagia.
Memaksa dirimu untuk berpura-pura bahagia dan membiarkan wajahmu malu, lidahmu kelu, telingamu kaku, dan hatimu beku.
Manalah mungkin diri yang palsu mendapat bahagia yang sejati itu?
Seorang laki-laki muda bertubuh gempal namun tetap proporsional, seperti yang sering kaulihat duduk mendengarkan lagu di kafe-kafe sambil menatap layar komputernya dan menyibukkan jemarinya. Kacamatanya yang besar dan bulat memperjelas kesan itu. Rambutnya yang sedikit bergelombang, sangat sedikit, terduduk rapi di permukaan ubun-ubunnya dan memayungi kepalanya, cukup saja untuk aku masih dapat melihat kedua telinganya yang salah satunya berhiaskan sebuah titik hitam: kuanggap saja semacam giwang yang sungguh kecil, lebih kecil dari tahi lalat manusia kebanyakan. Dia berbicara dengan senyum tersungging dan mata berbinar, seperti anak kecil yang penasaran melihat ibunya yang sedang menjahit baju, yang menyampaikan kepadaku: banyak yang telah dia ketahui.
Ada yang hilang dari diriku, tercuri dari sukmaku, terenggut dari kesadaranku dan mengutak-atik kewarasanku.
Ada yang menyisipkan sesuatu ke dalam akal sehatku: mereka yang berpikir bahwa manusia itu mesti binatang dahulu; mereka yang yakin bahwa cerdas itu mesti bodoh dahulu; mereka yang percaya bahwa benar itu mesti salah dahulu.
Sampai aku lupa cara menjadi manusia yang cerdas dan benar, karena sudah terlalu lama diharuskan berpura-pura menjadi binatang bodoh yang pasti salah.
Ada yang mengubahku.
Di kakiku terbentang peron.
Di telingaku berdentang saron.
Di mataku tergelar kampus yang - katanya - juara.
Di mulutku terpapar kata tanpa suara.
Cimpay masih hilang, dari pohon rambutan asalnya.
Cimpay yang malang, ke ragunan tujuannya.
Cimpay sayang, di sini menunggu abang.
Cimpay boru tulang, cepat pulang.
Hatta hilanglah kembali Sang Cimpay tanpa ditinggalkannya suatu kata bagi sahaya. Syahdan ditelanlah oleh malam itu, sebuah keberadaan yang disebut-sebut mirip kesunyian -- kesendirian.
Akhirnya kau terloncat dari lelap tidurmu, hanya untuk mendapati dirimu yang bisa-bisanya lupa untuk terkejut mengetahui ihwalnya keretamu mendahului koper dan ranselmu. Yang kau cari hanya satu: dia yang tak membiarkan dirinya tidur sehari penuh; dia yang menanti-nanti batang hidungmu hingga terusir oleh fajar baru; dia, hantu dalam bayang tanpa jemu; dia, Jogjakartamu yang baru.
ya, bangsat
kau menjebakku
setidaknya dirimu sebagian banyak
sudah menjeratku
kemana langkahku ya bayangmu
kau mau kuganti ya tidak bisa
sampai seberang
seribu hasta laut
hati kecilmu
mana bisa ku berpaling
mau ke ujung dunia
mau ke tujuh samudra
nantiku apa ya nantimu
tungguku apa ya tunggumu
apa hanya untukmu itu hanya untukku
bintang berpijar
mana yang terpandang
mana yang tersembunyi
berada dimana cintaku yang disana itu
disanaku atau disanamu yang gelap
di langitku atau di langitmu yang perlu bintang
yang menuju diriku
yang menuju dirimu
yang hanya untukmu
yang hanya untukku
sebenarnya ini
cuma-cuma seriak tangis getirku
bisa-bisa sejampi doa heningku
nanti saja
jika sudah berhenti sanggup untuk menahannya
jika sudah berhenti enggan untuk mengutarakannya
mungkin juga
aku nanti turun di stasiun sebelumnya
aku nanti tunggu di halte seberangnya
tatkala nyata
tugasmu melingkari huruf dan angka
tugasmu mengimbuhi agar empat yang tiga
selagi kau kunyah biar kucernakan untukmu
Aku ini tarian, kau sang penari
tanpaku kau tak berarti
tanpamu aku mati
dan tak dapat diganti
Aku ini lagu, kau sang penyanyi
tiada aku kau tak bunyi
tiada dirimu aku sunyi
dan tak dapat diwakili
Aku ini kamu ini
tanpa aku
tiada kamu
kita tak berdefinisi
lihat matamu
aku melihat hembus terakhir taufan yang mengucapkan selamat tinggal kepada matahari di ubun-ubunnya dan rembulan di pelipisnya
diriku telah tiada, katanya
menjelma gerimis
lihat bibirmu
aku melihat ujung magma panas yang bersiap menjadikan kawah itu hitam lagi dan lereng itu hijau lagi sehabis-habisnya
kisahku telah bada, katanya
menjelma tangis
matamu itu bibirmu itu
di keningmu di tengkukmu
menjelma taufan menjelma kawah
di malamku berganti kemah
tunjukkan padaku
dimana pasak-pasaknya harus kupancang
dimana langit-langitnya mesti kubentang
biar dalam gelapku, lenteramu
"tersedarkah?"
"dikaupun?"
"orang itu?"
"orang-orang itu"
"benarlah"
"tidak heran"
"sisa-sisanya pun terusik"
"hendak diapa jugalah biar"
"tak kenal lagi"
"dapatkah kembali"
"adalah tidak jalan taubat"
"hanya urung kini"
tak mesti tersebut tiada janggal