Aku akan mulai dengan tiupan sangkakala yang menggelegar, disertai gemericik bintang yang berpendar di kejauhan angkasa beraneka warna, ketika garis tepi harus dicoret di buku baru.
Berlian biru itu aku serahkan pada hyang widi, agar sang rembulan tidak murka padanya. Meskipun pada akhirnya aku tiada bersama rembulan lagi hanya karena bunga di tepi jalan itu. Lagipula, pilih mana seekor kumbang, terbang menuju rembulan apatah mampir di kembang-kembang menawan?
Harum sekali sampai hilang wewangian dalam napas yang seakan tersengal-sengal ini. Tapi seperti candu yang nikmat, pada akhirnya akan kadaluarsa. Menemukan kembali serbuk sari? Seperti anjing bodoh yang mengejar ekornya. Seperti yang kubilang, telah habis tanggal tayang, tinggal mengingat sensasi yang ditampung memori. Mau dilepas takut berdosa, tapi mau ditahan takut mati dua kali.
Setidaknya, gurun sempat kehujanan. Ramai-ramai berjatuhan tetes embun yang menyegarkan seperti soda api, sejuk dan segar. Tapi paman sam sudah mengajariku bahwa tidak ada musim semi atau musim panas yang berlangsung selamanya. Aku hanya bisa menikmati sensasinya sambil sedikit demi sedikit lenyap, hingga akhirnya tangkainya pun dimakan semut rangrang, digerogoti oleh kutu yang menggelikan.
Tampaknya memang cerah, namun hanya pantulan dari hasrat mendalam dari naluri seekor binatang yang punya - walaupun setitik - perasaan cinta. Aku sudah bisa melihat awan hitam yang kembali beriringan dari kejauhan di ufuk sana, sementara kumbang-kumbang yang buta masih ingin bersama dengan bunga-bunga yang hampir pupus, layu.
Sampai saat ini masih mendung. Akankah cerah kembali?
Mungkin butuh cinta abadi dari sejatinya diri.
eh jangan galau dong
ReplyDelete