Selayaknya aku berbangga karena mempunyai cinta, bukan malah menyesali cinta yang tak sampai itu. Lebih baik aku daripada mereka yang tak bercinta, hanya bertingkah seperti orang yang mengerti cinta tapi kosong di dalam hatinya yang hitam.
Aku akan mengangkat piala cinta suci yang telah melepaskanku dari belenggu nafsu. Bersoraklah dan bersukalah dalam cinta, hai semua orang yang memiliki cinta di hatinya! Hentikanlah perbantahan akan ciinta. Pandanglah cinta yang mengagumkan, kecaplah sedapnya!
Seluruh panca indera tiada benar. Tiadalah kata yang lebih nyata daripada kata-kata pencinta. Terimalah cinta, penghibur di dalam hatimu. Hiduplah di dunia untuk menyebar benih cinta. Walau indera tak cerap, cinta saja cukuplah.
Dengan cinta aku dapat melihat tanpa mata, aku dapat mendengar tanpa telinga, merasa tanpa lidah, dan meraba tanpa tangan. Dengan cinta pula aku dapat membau tanpa hidung. Sungguh dahsyatlah kekuatan cinta itu untukku. Milikilah cinta, kerjarlah dia sampai kau dekap! Jadilah magnet untuk cinta!
Depok, 29 Juli 2010
Jika kau merasa banyak yang membencimu, sejujurnya yang mencintaimu lebih banyak satu juta kali lipat. Kau hanya perlu memanggil cinta itu, dan kau dekap tanpa terlepas.
Jangan pernah ragukan cinta, jangan remehkan kekuatan cinta. Hanya orang tak berhati yang membuang cinta. Cinta adalah kehidupanmu, jiwamu. Yang memberi warna pada jalan riwayatmu, yang membuatkan kenangan untukmu.
Depok, 30 Juli 2010
Wednesday, October 03, 2012
Tuesday, October 02, 2012
Sacrosanctum Concillium (Dokumen Konsili Vatikan II)
KONSTITUSI
TENTANG LITURGI SUCI
------------------------------------------------------
PENDAHULUAN
1.
KONSILI SUCI bermaksud makin meningkatkan kehidupan Kristiani di
antara umat beriman; menyesuaikan lebih baik lagi lembaga-lembaga yang dapat
berubah dengan kebutuhan zaman kita; memajukan apa saja yang dapat membantu
persatuan semua orang yang beriman akan Kristus; dan meneguhkan apa saja yang
bermanfaat untuk mengundang semua orang dalam pangkuan Gereja. Oleh karena itu Konsili memandang sebagai
kewajibannya untuk secara istimewa mengusahakan juga pembaharuan dan
pengembangan liturgi.
2.
Sebab melalui liturgi dalam Kurban Ilahi Ekaristi, “terlaksanalah karya penebusan kita”[1]. Liturgi merupakan upaya yang sangat membantu kaum
beriman untuk dengan penghayatan, mengungkapkan Misteri Kristus serta hakikat
asli Gereja yang sejati, serta memperlihatkan itu kepada orang-orang lain,
yakni bahwa Gereja bersifat sekaligus manusiawi dan Ilahi, kelihatan namun
penuh kenyataan yang tak kelihatan, penuh semangat dalam kegiatan namun
meluangkan waktu juga untuk kontemplasi, hadir di dunia namun sebagai musafir.
Dan semua itu berpadu sedemikian rupa, sehingga dalamGerja
apa yang insani diarahkan dan diabdikan kepada yang ilahi, apa yang kelihatan
kepada yang tidak nampak, apa yang termasuk kegiatan kepada kontemplasi, dan
apa yang ada sekarang kepada kota yang akan datang, yang sedang kita cari[2] . Maka dari itu liturgi setiap hari membangun mereka
yang berada didalam Gereja menjadi kenisah suci dalam Tuhan, menjadi kediaman
Allah dalamRoh[3] , sampai mereka mencapai
kedewasaan penuh sesuai dengan kepenuhan Kristus[4] .
Maka liturgi sekaligus secara mengagumkan menguatkan tenaga mereka untuk
mewartakan Kristus, dan dengan demikian menunjukan Gereja kepada mereka yang
berada di luarnya sebagai tanda yang menjulang di antara bangsa-bangsa[5]. Di bawah tanda itu putera-puteri Allah yang tercerai
berai dihimpun menjadi satu[6] , sampai terwujudlah satu
kawanan dan satu gembala[7] .
3.
Oleh karena itu dalam hal pengembangan dan pembaharuan liturgi, Konsili suci
berpendapat: perlu meningkatkan lagi azas-azas berikut dan menetapkan
kaidah-kaidah praktis. Di antara azas-azas dan kaidah-kaidah itu ada beberapa
yang dapat dan harus diterapkan pada ritus romawi maupun pada semua ritus
lainnya. Namun kaidah-kaidah praktis berikut harus dipandang hanya berlaku bagi
ritus romawi, kecuali bila menyangkut hal-hal yang menurut hakekatnya juga
mengenai ritus-ritus lain.
4.
Akhirnya, setia
mengikuti tradisi, Konsili suci menyatakan pandangan Bunda Gereja yang kudus,
bahwa semua ritus yang diakui secara sah mempunyai hak dan martabat yang sama.
Gereja menhendaki agar ritus-ritus itu di masa mendatang dilestarikan dan
dikembangkan dengan segala daya upaya. Konsili menghimbau agar bilamana perlu
ritus-ritus itu ditinjau kembali dengan seksama dan secara menyeluruh, sesuai
dengan jiwa tradisi yang sehat, lagi pula diberi gairah baru, sesuai dengan
keadaan dan kebutuhan zaman sekarang.
BAB SATU
– AZAS-AZAS UMUM UNTUK MEMBAHARUI DAN MENGEMBANGKAN LITURGI
I. HAKEKAT DAN MAKNA LITURGI SUCI DALAMKEHIDUPAN
5. (Karya keselamatan dilaksanakan oleh Kristus)
Allah menghendaki supaya semua manusia selamat dan mengenal
kebenaran (1 Tim 2:4). Setelah Ia pada zaman dahulu berulang kali dan dengan
pelbagai cara bersabda kepada nenek-moyang kita dengan perantaraan para nabi
(Ibr 1:1), ketika genaplah waktunya, Ia mengutus Putera-Nya, Sabda yang menjadi
daging dan diurapi Roh Kudus, untuk mewartakan Kabar Gembira kepada kaum
miskin, untuk menyembuhkan mereka yang remuk redam hatinya[8]
, “sebagai tabib jasmani dan rohani”[9] , Pengantara
Allah dan manusia[10] .
Sebab dalam kesatuan pribadi Sabda kodrat kemanusiaan-Nya menjadi upaya
keselamatan kita. Oleh karena itu dalam Kristus “pendamaian kita mencapai puncak kesempurnaannya, dan
kita dapat melaksanakan ibadat Ilahi secara penuh”[11]
.
Adapun karya penebusan umat manusia dan permuliaan Allah yang sempurna itu telah diawali dengan karya agung Allah di tengah umat Perjanjian Lama. Karya itu diselesaikan oleh Kristus Tuhan, terutama dengan misteri Paska: sengsara-Nya yang suci, kebangkitan-Nya dari alam maut, dan kenaikan-Nya dalam kemuliaan. Dengan misteri itu Kristus “menghancurkan maut kita dengan wafat-Nya, dan membangun kembali hidup kita dengan kebangkitan-Nya”[12] . Sebab dari lambung Kristus yang beradu di salib muncullah Sakramen seluruh Gereja yang mengagumkan[13] .
Adapun karya penebusan umat manusia dan permuliaan Allah yang sempurna itu telah diawali dengan karya agung Allah di tengah umat Perjanjian Lama. Karya itu diselesaikan oleh Kristus Tuhan, terutama dengan misteri Paska: sengsara-Nya yang suci, kebangkitan-Nya dari alam maut, dan kenaikan-Nya dalam kemuliaan. Dengan misteri itu Kristus “menghancurkan maut kita dengan wafat-Nya, dan membangun kembali hidup kita dengan kebangkitan-Nya”[12] . Sebab dari lambung Kristus yang beradu di salib muncullah Sakramen seluruh Gereja yang mengagumkan[13] .
6. (Karya keselamatan yang dilestarikan oleh Gereja,
terlaksanadalam liturgi)
Oleh karena itu, seperti Kristus diutus oleh Bapa, begitu pula
Ia mengutus para rasul yang dipenuhi Roh Kudus. Mereka itu diutus bukan hanya
untuk mewartakan Injil kepada makhluk[14] , dan
memberitakan bahwa Putera Allah dengan wafat dan kebangkitan-Nya telah
membebaskan kita dari kuasa setan[15] dan maut, dan
telah memindahkan kita ke Kerajaan Bapa; melainkan juga untuk mewujudkan karya
keselamatan yang mereka wartakan itu melalui kurban dan Sakramen-sakramen,
sebagai pusat seluruh hidup liturgis. Demikianlah melalui baptis orang-orang
dimasukkan kedalam misteri Paska Kristus :
mereka mati, dikuburkan dan dibangkitkan bersama Dia[16]
; mereka menerima Roh pengangkatan menjadi putra, dan dalam Roh itu kita berseru : Abba, Bapa (Rom 8:15); demikianlah mereka
menjadi penyembah sejati, yang dicari oleh Bapa[17] .
Begitu pula setiap kali mereka makan perjamuan Tuhan, mereka mewartakan wafat
Tuhan sampai Ia datang[18] . Oleh karena itu pada hari
Pantekosta, ketika Gereja tampil di depan dunia, mereka yang menerima amanat
Petrus “dibaptis”. Dan mereka “bertekun dalam ajaran para Rasul serta selalu
berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa … sambil memuji Allah, dan mereka
disukai seluruh rakyat” (Kis 2:41-47). Sejak itu Gereja tidak pernah lalai
mengadakan pertemuan untuk merayakan misteri Paska; disitu mereka membaca “apa
yang tercantum tentang Dia dalam seluruh Kitab suci (Luk 24:27); mereka merayakan Ekaristi, yang
menghadirkan kejayaan-Nya atas maut”[19] , dan
sekaligus mengucap syukur kepada “Allah atas karunia-Nya yang tidak terkatakan”
(2Kor 9:15) dalam Kristus Yesus, “untuk memuji keagungan-Nya” (Ef 1:12) dengan
kekuatan Roh Kudus.
7. (Kehadiran Kristus dalam liturgi)
Untuk melaksanakan karya sebesar itu, Kristus selalu mendampingi
Gereja-Nya terutama dalam kegiatan-kegiatan liturgis. Ia hadir dalam Kurban Misa,
baik dalampribadi pelayan, “karena yang sekarang mempersembahkan diri
melalui pelayanan imam sama saja dengan Dia yang ketika itu mengorbankan Diri
di kayu salib[20] , maupun terutama dalam (kedua) rupa
Ekaristi. Dengan kekuatan-Nya Ia hadir dalam Sakramen-sakramen sedemikian rupa, sehingga bila ada orang yang
membaptis, Kristus sendirilah yang membaptis[21] . Ia
hadir dalam Sabda-Nya, sebab Ia sendiri bersabda bila Kitab suci dibacakan
dalam Gereja. Akhirnya Ia hadir, sementara Gereja memohon dan bermazmur karena
Ia sendiri berjanji : bila dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situlah Aku berada di antara mereka (Mat 18:28).
Memang sungguh, dalam karya seagung itu, saat Allah dimuliakan secara sempurna dan manusia dikuduskan, Kristus selalu menggabungkan Gereja, mempelai-Nya yang amat terkasih, dengan diri-Nya. Gereja yang berseru kepada Tuhannya dan melalui Dia berbakti kepada Bapa yang kekal.
Maka, benarlah bahwa liturgi dipandang sebagai pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus. Di dalam liturgi, dengan tanda-tanda lahiriah, pengudusan manusia dilambangkan dan dihasilkan dengan cara yang sesuai dengan masing-masing tanda ini; di dalam Liturgi, seluruh ibadat publik dilaksanakan oleh Tubuh Mistik Yesus Kristus, yakni Kepala beserta para anggota-Nya.
Oleh karena itu setiap perayaan liturgis sebagai karya Kristus sang Imam serta Tubuh-Nya yakni Gereja, merupakan kegiatan suci yang sangat istimewa. Tidak ada tindakan Gereja lainnya yang menandingi daya dampaknya dengan dasar yang sama serta dalam tingkatan yang sama.
Memang sungguh, dalam karya seagung itu, saat Allah dimuliakan secara sempurna dan manusia dikuduskan, Kristus selalu menggabungkan Gereja, mempelai-Nya yang amat terkasih, dengan diri-Nya. Gereja yang berseru kepada Tuhannya dan melalui Dia berbakti kepada Bapa yang kekal.
Maka, benarlah bahwa liturgi dipandang sebagai pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus. Di dalam liturgi, dengan tanda-tanda lahiriah, pengudusan manusia dilambangkan dan dihasilkan dengan cara yang sesuai dengan masing-masing tanda ini; di dalam Liturgi, seluruh ibadat publik dilaksanakan oleh Tubuh Mistik Yesus Kristus, yakni Kepala beserta para anggota-Nya.
Oleh karena itu setiap perayaan liturgis sebagai karya Kristus sang Imam serta Tubuh-Nya yakni Gereja, merupakan kegiatan suci yang sangat istimewa. Tidak ada tindakan Gereja lainnya yang menandingi daya dampaknya dengan dasar yang sama serta dalam tingkatan yang sama.
8. (Liturgi di dunia ini dan Liturgi di Surga)
Dalam liturgi di dunia ini kita ikut mencicipi liturgi surgawi, yang
dirayakan di kota suci Yerusalem, tujuan peziarahan kita. Di sana Kristus duduk
di sisi kanan Allah, sebagai pelayan tempat tersuci dan kemah yang sejati[22] . Bersama dengan segenap bala tentara surgawi kita
melambungkan kidung kemuliaan kepada Tuhan. Sementara menghormati dan
mengenangkan para Kudus kita berharap akan ikut serta dalam persekutuan dengan
mereka. Kita mendambakan Tuhan kita Yesus Kristus penyelamat kita, sampai Ia
sendiri, hidup kita, akan nampak, dan kita akan nampak bersama dengan-Nyadalam kemuliaan[23] .
9. (Liturgi bukan satu-satunya kegiatan Gereja)
Liturgi suci tidak mencakup seluruh kegiatan Gereja. Sebab
sebelum manusia dapat mengikuti liturgi, ia perlu dipanggil untuk beriman dan
bertobat: “bagaimana ia akan berseru kepada Dia yang tidak mereka imani? Atau
bagaimana mereka akan mengimani-Nya bila mereka tidak mendengar tentang Dia?
Dan bagaimana mereka akan mendengar bila tidak ada pewarta? Lalu bagaimana
mereka akan mewartakan kalau tidak diutus?” (Rom 10:14-15).
Oleh karena itu Gereja mewartakan berita keselamatan kepada kaum tak beriman, supaya semua orang mengenal satu-satunya Allah yang sejati dan Yesus Kristus yang diutus-Nya lalu bertobat dari jalan hidup mereka seraya menjalankan ulah tapa[24] . Tetapi kepada Umat berimanpun Gereja selalu wajib mewartakan iman dan pertobatan; selain itu harus menyiapkan mereka untuk menerima sakramen-sakramen, mengajar mereka mengamalkan segala sesuatu yang telah diperintahkan oleh Kristus[25] , dan mendorong mereka untuk menjalankan semua amal cinta kasih, kesalehan dan kerasulan. Berkat karya-karya itu akan menjadi jelas bahwa kaum beriman kristiani memang bukan dari dunia ini, melainkan menjadi terang dunia dan memuliakan Bapa di hadapan orang-orang.
Oleh karena itu Gereja mewartakan berita keselamatan kepada kaum tak beriman, supaya semua orang mengenal satu-satunya Allah yang sejati dan Yesus Kristus yang diutus-Nya lalu bertobat dari jalan hidup mereka seraya menjalankan ulah tapa[24] . Tetapi kepada Umat berimanpun Gereja selalu wajib mewartakan iman dan pertobatan; selain itu harus menyiapkan mereka untuk menerima sakramen-sakramen, mengajar mereka mengamalkan segala sesuatu yang telah diperintahkan oleh Kristus[25] , dan mendorong mereka untuk menjalankan semua amal cinta kasih, kesalehan dan kerasulan. Berkat karya-karya itu akan menjadi jelas bahwa kaum beriman kristiani memang bukan dari dunia ini, melainkan menjadi terang dunia dan memuliakan Bapa di hadapan orang-orang.
10. (Liturgi puncak dan sumber kehidupan Gereja)
Akan tetapi liturgi itu puncak yang dituju kegiatan Gereja, dan
serta merta sumber segala daya-kekuatannya. Sebab usah-usaha kerasulan
mempunyai tujuan ini: supaya semua orang melalui iman dan baptis menjadi
putera-putera Allah, berhimpun menjadi satu, meluhurkan Allah di tengah Gereja,
ikut serta dalam Kurban dan menyantap perjamuan Tuhan.
Di lain pihak liturgi sendiri mendorong umat beriman, supaya sesudah dipuaskan “dengan Sakramen-sakramen Paska menjadi sehati-sejiwa dalam kasih”[26] . Liturgi berdoa supaya “mereka mengamalkan dalam hidup sehari-hari apa yang mereka peroleh dalamiman”[27] . Adapun pembaharuan perjanjian Tuhan dengan manusia dalam Ekaristi menarik dan mengobarkan Umat beriman dalam cinta kasih Kristus yang membara. Jadi dari liturgi, terutama dari Ekaristi, bagaikan dari sumber, mengalirlah rahmat kepada kita, dan dengan hasil guna yang amat besar diperoleh pengudusan manusia dan permuliaan Allah dalam Kristus, tujuan semua karya Gereja lainnya.
Di lain pihak liturgi sendiri mendorong umat beriman, supaya sesudah dipuaskan “dengan Sakramen-sakramen Paska menjadi sehati-sejiwa dalam kasih”[26] . Liturgi berdoa supaya “mereka mengamalkan dalam hidup sehari-hari apa yang mereka peroleh dalamiman”[27] . Adapun pembaharuan perjanjian Tuhan dengan manusia dalam Ekaristi menarik dan mengobarkan Umat beriman dalam cinta kasih Kristus yang membara. Jadi dari liturgi, terutama dari Ekaristi, bagaikan dari sumber, mengalirlah rahmat kepada kita, dan dengan hasil guna yang amat besar diperoleh pengudusan manusia dan permuliaan Allah dalam Kristus, tujuan semua karya Gereja lainnya.
11. (Perlunya persiapan pribadi)
Akan tetapi supaya hasil guna itu diperoleh sepenuhnya, Umat
beriman perlu datang menghadiri liturgi suci dengan sikap-sikap batin yang
serasi. Hendaklah mereka menyesuaikan hati dengan apa yang mereka ucapkan,
serta bekerja sama dengan rahmat surgawi, supaya mereka jangan sia-sia saja
menerimanya[28] . Maka dari itu hendaklah para gembala
rohani memperhatikan dengan seksama, supaya dalam kegiatan liturgi jangan hanya dipatuhi hukum-hukumnya untuk
merayakannya secara sah dan halal, melainkan supaya umat beriman ikut
merayakannya dengan sadar, aktif dan penuh makna.
12. (Liturgi dan ulah kesalehan)
Akan tetapi hidup rohani tidak tercakup seluruhnya dengan hanya
ikut serta dalam liturgi. Sebab semua manusia kristiani; yang memang dipanggil
untuk berdoa bersama, toh harus memasuki biliknya juga untuk berdoa kepada Bapa
di tempat yang tersembunyi[29] . Bahkan menurut amanat
Rasul (Paulus) ia harus berkajang dalam doa[30] . Dan Rasul itu juga mengajar,
supa ya kita selalu membawa kematian Yesus dalam tubuh kita, supaya hidup Yesus
pun menjadi nyata dalam daging kita yang fana[31] . Maka dari
itu dalamkurban Misa kita memohon kepada Tuhan, supaya dengan menerima persembahan
kurban rohani, Ia menyempurnakan kita sendiri menjadi kurban abadi bagi
diri-Nya[32] .
13.
Ulah kesalehan Umat
kristiani, asal saja sesuai dengan hukum-hukum dan norma-norma Gereja, sangat
dianjurkan, terutama bila dijalankan atau penetapan Takhta Apostolik.
Begitu pula ulah kesalehan yang khas bagi Gereja-gereja setempat memiliki makna istimewa, bila dilakukan atas penetapan para Uskup, menurut adatkebiasaan atau buku-buku yang telah disahkan.
Akan tetapi, sambil mengindahkan masa-masa liturgi, ulah kesalehan itu perlu diatur sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan liturgi suci; sedikit banyak harus bersumber pada liturgi, dan menghantar Umat kepadaNya; sebab menurut hakikatnya hal besar liturgi memang jauh unggul dari semua ulah kesalehan itu.
Begitu pula ulah kesalehan yang khas bagi Gereja-gereja setempat memiliki makna istimewa, bila dilakukan atas penetapan para Uskup, menurut adatkebiasaan atau buku-buku yang telah disahkan.
Akan tetapi, sambil mengindahkan masa-masa liturgi, ulah kesalehan itu perlu diatur sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan liturgi suci; sedikit banyak harus bersumber pada liturgi, dan menghantar Umat kepadaNya; sebab menurut hakikatnya hal besar liturgi memang jauh unggul dari semua ulah kesalehan itu.
II. PENDIDIKAN LITURGI DAN KEIKUT-SERTAAN
AKTIF
14.
Bunda Gereja sangat menginginkan, supaya semua orang beriman
dibimbing kearah keikut-sertaan yang sepenuhnya, sadar dan aktif dalam perayaan-perayaan liturgi. Keikut-sertaan seperti itu dituntut
oleh liturgi sendiri, dan berdasarkan Baptis merupakan hak serta kewajiban umat
kristiani sebagai “bangsa terpilih, imamat rajawai, bangsa yang kudus, Umat
kepunyaan Allah sendiri” (1Ptr 2:9; Lih. 2:4-5).
Dalam pembaharuan dan pengembangan liturgi suci keikut-sertaan segenap Umat secara penuh dan aktif itu perlu beroleh perhatian yang terbesar. Sebab bagi kaum beriman merupakan sumber utama yang tidak tergantikan, untuk menimba semangat kristiani yang sejati. Maka dari itu dalam seluruh kegiatan pastoral mereka para gemabala jiwa harus mengusahakannya dengan rajin melalui pendidikan yang seperlunya.
Akan tetapi supaya itu tercapai tiada harapan lain kecuali bahwa lebih dahulu para gembala jiwa sendiri secara mendalam diresapi semangat dan daya liturgi, serta menjadi mahir untuk memberi pendidikan liturgi. Oleh karena itu sangat perlulah bahwa pertama-tama pendidikan liturgi klerus dimantapkan. Maka Konsili suci memutuskan ketetapan-ketetapan berikut.
Dalam pembaharuan dan pengembangan liturgi suci keikut-sertaan segenap Umat secara penuh dan aktif itu perlu beroleh perhatian yang terbesar. Sebab bagi kaum beriman merupakan sumber utama yang tidak tergantikan, untuk menimba semangat kristiani yang sejati. Maka dari itu dalam seluruh kegiatan pastoral mereka para gemabala jiwa harus mengusahakannya dengan rajin melalui pendidikan yang seperlunya.
Akan tetapi supaya itu tercapai tiada harapan lain kecuali bahwa lebih dahulu para gembala jiwa sendiri secara mendalam diresapi semangat dan daya liturgi, serta menjadi mahir untuk memberi pendidikan liturgi. Oleh karena itu sangat perlulah bahwa pertama-tama pendidikan liturgi klerus dimantapkan. Maka Konsili suci memutuskan ketetapan-ketetapan berikut.
15. (Pembinaan para dosen Liturgi)
Para dosen, yang
ditugaskan untuk mengajarkan mata kuliah Liturgi di seminari-seminari,
rumah-rumah pendidikan para religius dan fakultas-fakultas teologi, perlu
dididik dengan sungguh-sungguh di lembaga-lembaga yang secara istimewa
diperuntukkan bagi tujuan itu, untuk menunaikan tugas mereka.
16. (Pendidikan Liturgi kaum rohaniwan)
Di seminari-seminari
dan di rumah-rumah pendidikan para religius mata kuliah Liturgi harus dipandang
sebagai mata kuliah wajib dan penting, sedangkan di fakultas-fakultas teologi
sebagai salah satu mata kuliah utama. Mata kuliah Liturgi hendaknya diajarkan
dari segi teologi dan sejarah maupun dari segi hidup rohani, pastoral dan
hukum. Selain itu hendaklah para dosen mata kuliah lain-lainnya, terutama
teologi dogmatis, Kitab suci, teologi hidup rohani dan pastoral, – dengan
bertolak dari persyaratan instrinsik masing-masing pokok bahasan, -menguraikan
misteri Kristus dan sejarah keselamatan sedemikian rupa, sehingga jelas-jelas
nampak hubungannya dengan liturgi dan keterpaduan pembinaan iman.
17.
Hendaklah para rohaniwan di seminari-seminari maupun di
rumah-rumah religius, mendapat pembinaan liturgis demi hidup rohani mereka,
baik melalui bimbingan yang memadai untuk memahami upacara-upacara suci
sendiri, pun juga melalui ulah kesalehan lainnya yang diresapi oleh semangat
liturgi. Begitu pula hendaklah mereka belajar mematuhi hukum-hukum liturgi,
sehingga kehidupan di seminari-seminari dan tarekat-tarekat religius dirasuki
semangat liturgi secara mendalam.
18.
Hendaklah para imam baik diosesan maupun religius, yang sudah
berkarya di kebun anggur Tuhan, dibantu dengan segala upaya yang memadai,
supaya mereka semakin mendalam memahami apa yang mereka laksanakan dalam pelayanan-pelayanan suci, menghayati hidup liturgis, dan
menyalurkannya kepada Umat beriman yang dipercayakan kepada mereka.
19. (Pembinaan kaum Liturgis beriman)
Hendaklah para gembala jiwa dengan tekun dan sabar mengusahakan
pembinaan liturgi kaum beriman serta secara aktif, baik lahir maupun batin,
sesuai dengan umur, situasi, corak hidup dan taraf perkembangan religius
mereka. Dengan demikian mereka menunaikan salah satu tugas utama pembagi
misteri-misteri Allah yang setia. Dalam hal ini hendaklah mereka membimbing kawanan mereka bukan saja
dengan kata-kata, melainkan juga dengan teladan.
20. (Sarana-sarana audio-visual dan perayaan liturgi)
Siaran-siaran upacara
suci melaui radio dan televisi, terutama bila meliput perayaan Ekaristi,
hendaklah berlangsung dengan bijak dan penuh hormat, di bawah bimbingan dan
tanggung jawab seorang ahli, yang ditunjuk oleh para Uskup untuk tugas itu.
III. PEMBAHARUAN LITURGI
21.
Supaya lebih terjaminlah bahwa Umat kristiani memperoleh rahmat
berlimpah dalam liturgi suci, Bunda Gereja yang penuh kasih ingin mengusahakan
dengan seksama pembaharuan umum liturgi sendiri. Sebab dalam liturgi terdapat
unsur yang tidak dapat diubah karena ditetapkan oleh Allah, maupun unsur-unsur
yang dapat berubah, yang disepanjang masa dapat atau bahkan mengalami
perubahan, sekiranya mungkin telah disusupi hal-hal yang kurang serasi dengan
inti hakikat liturgi sendiri, atau sudah menjadi kurang cocok. Adapun dalam
pembaharuan itu naskah-naskah dan upacara-upacara harus diatur sedemikian rupa,
sehingga lebih jelas mengungkapkan hal-hal kudus yang dilambangkan. Dengan
demikian Umat kristiani sedapat mungkin menangkapnya dengan mudah, dan dapat
ikut serta dalam perayaan secara penuh, aktif dan dengan cara yang khas bagi
jemaat. Maka Konsili suci menetapkan norma-norma berikut yang lebih bersifat
umum.
A. Kaidah-kaidah umum
22. (Pengaturan Liturgi)
(1) Wewenang untuk mengatur liturgi semata-mata ada pada pi
mpinan Gereja, yakni Takhta Apostolik, dan menurut kaidah hukum pada uskup.
(2) Berdasarkan kuasa yang diberikan hukum, wewenang untuk mengatur perkara-perkara liturgi dalam batas-batas tertentu juga ada pada pelbagai macam Konferensi Uskup sedaerah yang didirikan secara sah.
(3) Maka dari itu tidak seorang lainnya pun, meskipun imam, boleh menambahkan, meniadakan atau mengubah sesuatu dalam liturgi atas prakarsa sendiri.
(2) Berdasarkan kuasa yang diberikan hukum, wewenang untuk mengatur perkara-perkara liturgi dalam batas-batas tertentu juga ada pada pelbagai macam Konferensi Uskup sedaerah yang didirikan secara sah.
(3) Maka dari itu tidak seorang lainnya pun, meskipun imam, boleh menambahkan, meniadakan atau mengubah sesuatu dalam liturgi atas prakarsa sendiri.
23.
(Tradisi dan perkembangan)
Supaya tradisi yang sehat dipertahankan, namun dibuka jalan juga
bagi perkembangan yang wajar, hendaknya selalu diadakan lebih dulu
penyeklidikan teologis, historis, dan pastoral, yang cermat tentang setiap
bagian liturgi yang perlu ditinjau kembali. Kecuali itu hendaklah
dipertimbangkan baik patokanpatokan umum tentang susunan dan makna liturgi,
maupun pengalaman yang diperoleh dari pembaharuan liturgi belakangan ini serta
dari izin-izin yang diberikan di sana-sini. Akhirnya janganlah kiranya diadakan
hal-hal baru, kecuali bila sungguh-sungguh dan pasti dituntut oleh kepentingan
Gereja; dan dalam hal ini hendaknya diusahakan dengan cermat, agar
bentuk-bentuk baru itu bertumbuh secara kurang lebih organis dari bentuk-bentuk
yang sudah ada. Sedapat mungkin hendaknya dicegah juga, jangan sampai ada
perbedaanperbedaan yang menyolok dalam upacara-upacara di daerah-daerah yang berdekatan.
24.
(Kitab suci dan Liturgi)
Dalam perayaan liturgi Kitab suci sangat penting. Sebab dari
Kitab sucilah dikutib bacaan-bacaan, yang dibacakan dan dijelaskan dalam homili, serta mazmurmazmur yang dinyanyikan. Dan karena ilham
serta jiwa Kitab sucilah dilambungkan permohonan, doa-doa dan madah-madah
liturgi; dari padanya pula upacara serta lambang-lambang memperoleh maknanya.
Maka untuk membaharui, mengembangkan dan menyesuaikan liturgi suci perlu
dipupuk cinta yang hangat dan hidup terhadap Kitab suci, seperti ditunjukkan
oleh tradisi luhur ritus Timur maupun ritus Barat.
25. (Peninjauan kembali buku-buku Liturgi)
Hendaknya buku-buku
liturgi selekas mungkin ditinjau kembali, dengan meminta bantuan para ahli dan
berkonsultasi dengan para Uskup di pelbagai kawasan dunia.
B. Kaidah-kaidah berdasarkan hakikat liturgi sebagai
tindakan Hirarki dan jemaat
26.
Upacara-upacara liturgi bukanlah tindakan perorangan, melainkan
perayaan Gereja sebagai sakramen kesatuan, yakni Umat kudus yang berhimpun dan
diatur di bawah para Uskup[33] . Maka upacara-upacara
itu menyangkut seluruh Tubuh Gereja dan menampakkan serta mempengaruhinya;
sedangkan masing-masing anggota disentuhnya secara berlain-lainan, menurut
keanekaan tingkatan, tugas serta keikut-sertaan aktual mereka.
27. (Perayaan bersama)
Setiap kali suatu upacara, menurut hakikatnya yang khas,
diselenggarakan sebagai perayaan bersama, dengan dihadiri banyak Umat yang
ikut-serta secara aktif, hendaknya ditandaskan, agar bentuk itu sedapat mungkin
diutamakan terhadap upacara perorangan yang seolah-olah bersifat pribadi.
Terutama itu berlaku bagi perayaan Misa, tanpa mengurangi kenyataan, bahwa
setiap Misa pada hakikatnya sudah bersifat resmi dan umum, begitu pula bagi
pelayanan Sakramen-sakramen.
28. (Martabat perayaan)
Pada perayaan-perayaan liturgi setiap anggota, entah pelayan
(pemimpin) entah Umat, hendaknya dalam menunaikan tugas hanya menjalankan, dan melakukan seutuhnya, apa
yang menjadi perannya menurut hakikat perayaan serta kaidah-kaidah liturgi.
29.
Juga para pelayan Misa (putera altar), para lektor, para komentator dan para anggota
paduan suara benar-benar menjalankan pelayanan liturgis. Maka hendaknya mereka
menunaikan tugas dengan saleh, tulus dan saksama, sebagaimana layak untuk
pelayanan seluhur itu, dan sudah semestinya dituntut dari mereka oleh Umat
Allah. Maka perlulah mereka secara mendalam diresapi semangat liturgi, masing-masing sekadar kemampuannya,
dan dibina untuk membawakan peran mereka dengan tepat dan rapih.
30. (Keikut-sertaan aktif Umat beriman)
Untuk meningkatkan
keikut-sertaan aktif, hendaknya aklamasi oleh Umat, jawaban-jawaban, pendarasan
mazmur, antifon-antifon dan lagu-lagu, pun pula gerak-gerik, peragaan serta
sikap badan dikembangkan. Pada saat yang tepat hendaklah diadakan juga saat
hening yang kidmat.
31.
Dalam meninjau kembali buku-buku liturgi hendaklah diperhatikan dengan
saksama, supaya rubrik-rubrik juga mengatur peran Umat beriman.
32. (Liturgi dan kelompok-kelompok sosial)
Kecuali perbedaan berdasarkan tugas liturgi dan Tahbisan suci,
dan selain penghormatan yang menurut kaidah-kaidah liturgi harus diberikan
kepada para pemuka-pemuka masayarakat, janganlah diberikan kedudukan istimewa
kepada pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok tertentu, baik dalam upacara maupun dengan penampilan lahiriah.
C. Kaidah-kaidah berdasarkan sifat pembinaan dan pastoral
liturgi
33.
Meskipun liturgi suci terutama merupakan ibadat kepada Keagungan
Ilahi, namun mencakup banyak pengajaran juga bagi Umat beriman[34] . Sebab dalam liturgi Allah bersabda kepada Umat-Nya; Kristus masih mewartakan
Injil. Sedangkan Umat menanggapi Allah dengan nyanyian-nyanyian dan doa.
Bahkan bila imam, yang selaku wakil Kristus memimpin jemaat, memanjatkan doa-doa kepada Allah, doa-doa itu diucapkan atas nama segenap Umat suci dan semua orang yang hadir. Adapun lambang-lambang lahir, yang digunakan dalam liturgi suci untuk menandakan hal-hal ilahi yang tidak nampak, dipilih oleh Kristus atau Gereja. Oleh karena itu bukan hanya bila dibacakan “apa yang telah ditulis untuk menjadi pelajaran bagi kita” (Rom 15:4), melainkan juga sementara Gereja berdoa atau bernyanyi atau melakukan sesuatu, dipupuklah iman para peserta, dan hati mereka diangkat kepada Allah, untuk mempersembahkan penghormatan yang wajar kepada-Nya, dan menerima rahmat-Nya secara lebih melimpah.
Maka dari iru dalam mengadakan pembaharuan kaidah-kaidah umum berikut harus dipatuhi.
Bahkan bila imam, yang selaku wakil Kristus memimpin jemaat, memanjatkan doa-doa kepada Allah, doa-doa itu diucapkan atas nama segenap Umat suci dan semua orang yang hadir. Adapun lambang-lambang lahir, yang digunakan dalam liturgi suci untuk menandakan hal-hal ilahi yang tidak nampak, dipilih oleh Kristus atau Gereja. Oleh karena itu bukan hanya bila dibacakan “apa yang telah ditulis untuk menjadi pelajaran bagi kita” (Rom 15:4), melainkan juga sementara Gereja berdoa atau bernyanyi atau melakukan sesuatu, dipupuklah iman para peserta, dan hati mereka diangkat kepada Allah, untuk mempersembahkan penghormatan yang wajar kepada-Nya, dan menerima rahmat-Nya secara lebih melimpah.
Maka dari iru dalam mengadakan pembaharuan kaidah-kaidah umum berikut harus dipatuhi.
34. (Keserasian upacara-upacara)
Hendaklah
upacara-upacara bersifat sederhana namun luhur, singkat, jelas, tanpa
pengulangan-pengulangan yang tiada gunanya. Hendaknya disesuaikan dengan daya
tangkap Umat beriman, dan pada umumnya jangan sampai memerlukan banyak
penjelasan.
35. (Kitab suci, pewartaan dan katekese dalam liturgi)
Supaya nampak dengan jelas bahwa dalam liturgi upacara dan sabda berhubungan erat, maka :
(1) Dalam peryaan-perayaan suci hendaknya dimasukkan bacaan Kitab suci yang lebih banyak, lebih bervariasi dan lebih sesuai.
(2) Dalam rubrik-rubrik hendaknya dicatat juga, sejauh tata upacara mengizinkan, saat yang lebih tepat untuk kotbah, sebagai bagian perayaan liturgi. Dan pelayanan pewartaan hendaknya dilaksanakan dengan amat tekun dan saksama. Bahannya terutama hendaklah bersumber pada Kitab suci dan liturgi, sebab kotbah merupakan pewartaan keajaiban-keajaiban Allah dalam sejarah keselamatan atau misteri Kristus, yang selalu hadir dan berkarya di tengah kita, teristimewa dalam perayaan-perayaan liturgi.
(3) Dengan segala cara hendaknya diusahakan pula katekese yang secara lebih langsung bersifat liturgis; dan dalam upacar-upacara sendiri bila perlu, hendaklah disampaikan ajakan-ajakan singkat oleh imam atau pelayan (petugas) yang berwenang. Tetapi ajakan-ajakan itu hendaknya hanya disampaikan pada saat-saat yang cocok, menurut teks yang sudah ditentukan atau dengan kata-kata yang senada.
(4) Hendaknya dikembangkan peryaan Sabda Allah pada malam menjelang harihari raya agung, pada beberapa hari biasa dalam masa Adven dan Prapaska, begitu pula pada hari-hari minggu dan hari-hari raya, terutama di tempat-tempat yang tiada imamnya. Dalamhal itu perayaan hendaknya dipimpin oleh diakon atau orang lain yang diberi wewenang oleh Uskup.
(1) Dalam peryaan-perayaan suci hendaknya dimasukkan bacaan Kitab suci yang lebih banyak, lebih bervariasi dan lebih sesuai.
(2) Dalam rubrik-rubrik hendaknya dicatat juga, sejauh tata upacara mengizinkan, saat yang lebih tepat untuk kotbah, sebagai bagian perayaan liturgi. Dan pelayanan pewartaan hendaknya dilaksanakan dengan amat tekun dan saksama. Bahannya terutama hendaklah bersumber pada Kitab suci dan liturgi, sebab kotbah merupakan pewartaan keajaiban-keajaiban Allah dalam sejarah keselamatan atau misteri Kristus, yang selalu hadir dan berkarya di tengah kita, teristimewa dalam perayaan-perayaan liturgi.
(3) Dengan segala cara hendaknya diusahakan pula katekese yang secara lebih langsung bersifat liturgis; dan dalam upacar-upacara sendiri bila perlu, hendaklah disampaikan ajakan-ajakan singkat oleh imam atau pelayan (petugas) yang berwenang. Tetapi ajakan-ajakan itu hendaknya hanya disampaikan pada saat-saat yang cocok, menurut teks yang sudah ditentukan atau dengan kata-kata yang senada.
(4) Hendaknya dikembangkan peryaan Sabda Allah pada malam menjelang harihari raya agung, pada beberapa hari biasa dalam masa Adven dan Prapaska, begitu pula pada hari-hari minggu dan hari-hari raya, terutama di tempat-tempat yang tiada imamnya. Dalamhal itu perayaan hendaknya dipimpin oleh diakon atau orang lain yang diberi wewenang oleh Uskup.
36. (Bahasa Liturgi)
(1) Penggunaan bahasa latin hendaknya dipertahankan dalam ritus-ritus lain, meskipun ketentuan-ketentuan hukum khusus
tetap berlaku.
(2) Akan tetapi dalam Misa, dalam pelayanan Sakramen-sakramen maupun bagian-bagian liturgi lainnya, tidak jarang penggunaan bahasa pribumi dapat sangat bermanfaat bagi Umat. Maka seyogyanyalah diberi kelonggaran yang lebih luas, terutama dalam bacaan-bacaan dan ajakan-ajakan, dan berbagai doa dan nyanyian, menurut kaidah-kaidah yang mengenai hal itu ditetapkan secara tersendiri dalam bab-bab berikut.
(3) Sambil mematuhi kaidah-kaidah itu, pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, seperti disebut pada artikel 22: (2), menetapkan apakah dan bagaimanakah bahasa pribumi digunakan, bila perlu hendaknya ada konsultasi dengan para Uskup tetangga dikawasan yang menggunakan bahasa yang sama. Ketetapan itu memerlukan persetujuan atau pengesahan dari Takhta Apostolik.
(4) Terjemahan teks latin kedalam bahasa pribumi, yang hendak digunakan dalam liturgi, harus disetujui oleh pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, seperti tersebut di atas.
(2) Akan tetapi dalam Misa, dalam pelayanan Sakramen-sakramen maupun bagian-bagian liturgi lainnya, tidak jarang penggunaan bahasa pribumi dapat sangat bermanfaat bagi Umat. Maka seyogyanyalah diberi kelonggaran yang lebih luas, terutama dalam bacaan-bacaan dan ajakan-ajakan, dan berbagai doa dan nyanyian, menurut kaidah-kaidah yang mengenai hal itu ditetapkan secara tersendiri dalam bab-bab berikut.
(3) Sambil mematuhi kaidah-kaidah itu, pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, seperti disebut pada artikel 22: (2), menetapkan apakah dan bagaimanakah bahasa pribumi digunakan, bila perlu hendaknya ada konsultasi dengan para Uskup tetangga dikawasan yang menggunakan bahasa yang sama. Ketetapan itu memerlukan persetujuan atau pengesahan dari Takhta Apostolik.
(4) Terjemahan teks latin kedalam bahasa pribumi, yang hendak digunakan dalam liturgi, harus disetujui oleh pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, seperti tersebut di atas.
D. Kaidah-kaidah untuk menyesuaikan liturgi dengan tabiat
perangai dan tradisi bangsa-bangsa
37.
Dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman atau kesejahteraan
segenap jemaat, Gereja dalam liturgi pun tidak ingin mengharuskan suatu
keseragaman yang kaku. Sebaliknya Gereja memelihara dan memajukan kekayaan yang
menghiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa. Apa saja dalam adat kebiasaan para bangsa, yang tidak secara mutlak terikat
pada takhayul atau ajaran sesat, oleh Gereja dipertimbangkan dengan murah hati,
dan bila mungkin dipeliharanya dengan hakikat semangat liturgi yang sejati dan
asli.
38.
Asal saja kesatuan hakiki ritus Romawi dipertahankan, hendaknya
diberi ruang kepada kemajemukan bentuk dan penyesuaian yang wajar dengan
pelbagai kelompok, daerah, dan bangsa, terutama di daerah-daerah Misi, juga bila buku-buku liturgi ditinjau kembali. Hal itu
hendaklah diperhatikan dengan baik dalam penyusunan upacara-upacara dan penataan rubrik-rubrik.
39.
Dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh terbitan otentik
buku-buku liturgi, pimpinan Gereja setempat yang berwenang, seperti disebut dalam art. 22, (2), berhak untuk memerinci penyesuaian-penyesuaian,
terutama mengenai pelayanan Sakramen-sakramen, sakramentali, perarakan, bahasa
liturgi, musik Gereja dan kesenian, asal saja sesuai dengan kaidah-kaidah dasar
yang terdapat dalam konsultasi ini.
40.
Tetapi di pelbagai tempat dan situasi, mendesaklah penyesuaian
liturgi secara lebih mendalam;
karena itu juga menjadi lebih sukar. Maka :
(1) Hendaknya pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, seperti dalam art. 22, (2), dengan tekun dan bijaksana mempertimbangkan, unsur-unsur manakah dari tradisi-tradisi dan ciri khas masing-masing bangsa yang dalam hal itu sebaiknya ditampung dalam ibadat ilahi. Penyesuaianpenyesuaian, yang dipandang berfaedah atau memang perlu, hendaklah diajukan kepada Takhta Apostolik, supaya atas persetujuannya dimasukkan dalam liturgi.
(2) Tetapi supaya penyesuaian dijalankan dengan kewaspadaan seperlunya, maka Takhta Apostolik akan memberi wewenang kepada pimpinan gerejawi setempat, untuk – bila perlu – dalam beberapa kelompok yang cocok untuk itu dan selama waktu yang terbatas mengizinkan dan memimpin eksperimen-eksperimen pendahuluan yang diperlukan.
(3) Ketetapan-ketetapan tentang liturgi biasanya menimbulkan kesulitankesulitan khas mengenai penyesuaian, terutama di daerah-daerah Misi. Maka dalam menyusun ketetapan-ketetapan ini hendaknya tersedia ahliahli untuk bidang yang bersangkutan.
(1) Hendaknya pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, seperti dalam art. 22, (2), dengan tekun dan bijaksana mempertimbangkan, unsur-unsur manakah dari tradisi-tradisi dan ciri khas masing-masing bangsa yang dalam hal itu sebaiknya ditampung dalam ibadat ilahi. Penyesuaianpenyesuaian, yang dipandang berfaedah atau memang perlu, hendaklah diajukan kepada Takhta Apostolik, supaya atas persetujuannya dimasukkan dalam liturgi.
(2) Tetapi supaya penyesuaian dijalankan dengan kewaspadaan seperlunya, maka Takhta Apostolik akan memberi wewenang kepada pimpinan gerejawi setempat, untuk – bila perlu – dalam beberapa kelompok yang cocok untuk itu dan selama waktu yang terbatas mengizinkan dan memimpin eksperimen-eksperimen pendahuluan yang diperlukan.
(3) Ketetapan-ketetapan tentang liturgi biasanya menimbulkan kesulitankesulitan khas mengenai penyesuaian, terutama di daerah-daerah Misi. Maka dalam menyusun ketetapan-ketetapan ini hendaknya tersedia ahliahli untuk bidang yang bersangkutan.
IV. PEMBINAAN KEHIDUPAN LITURGI DALAM KEUSKUPAN DAN PAROKI.
41. (Kehidupan Liturgi dalam keuskupan)
Uskup harus dipandang sebagai imam agung kawanannya. Kehidupan
Umatnya yang beriman dalam Kristus bersumber dan tergantung dengan cara tertentu dari
padanya.
Maka dari itu semua orang harus menaruh penghargaan amat besar terhadap kehidupan liturgi keuskupan di sekitar Uskup, terutama di gereja katedral. Hendaknya mereka yakin, bahwa penampilan Gereja yang istimewa terdapat dalam keikutsertaan penuh dan aktif seluruh Umat kudus Allah dalam perayaan liturgi yang sama, terutama dalam satu Ekaristi,dalam satu doa, pada satu altar, dipimpin oleh Uskup yang dikelilingi oleh para imam serta para pelayan lainnya[35] .
Maka dari itu semua orang harus menaruh penghargaan amat besar terhadap kehidupan liturgi keuskupan di sekitar Uskup, terutama di gereja katedral. Hendaknya mereka yakin, bahwa penampilan Gereja yang istimewa terdapat dalam keikutsertaan penuh dan aktif seluruh Umat kudus Allah dalam perayaan liturgi yang sama, terutama dalam satu Ekaristi,dalam satu doa, pada satu altar, dipimpin oleh Uskup yang dikelilingi oleh para imam serta para pelayan lainnya[35] .
42. (Kehidupan Liturgi dalam Paroki)
Dalam Gerejanya Uskup tidak dapat selalu atau dimana-mana
memimpin sendiri segenap kawanannya. Maka haruslah ia membentuk
kelompok-kelompok orang beriman, diantaranya yang terpenting yakni
paroki-paroki, yang di setiap tempat dikelola di bawah seorang pastor yang
mewakili Uskup. Sebab dalam arti tertentu paroki menghadirkan Gereja semesta yang kelihatan.
Maka dari itu hendaknya kehidupan liturgi paroki serta hubungannya dengan Uskup dipupuk dalam hati dan praktik jemaat beriman serta para rohaniwan. Hendaknya diusahakan, supaya jiwa persekutuan dalam paroki berkembang, terutama dalamperayaan Misa Umat pada hari Minggu.
Maka dari itu hendaknya kehidupan liturgi paroki serta hubungannya dengan Uskup dipupuk dalam hati dan praktik jemaat beriman serta para rohaniwan. Hendaknya diusahakan, supaya jiwa persekutuan dalam paroki berkembang, terutama dalamperayaan Misa Umat pada hari Minggu.
V. PENGEMBANGAN PASTORAL LITURGI
43. (Pembaharuan Liturgi, rahmat Roh Kudus)
Usaha mengembangkan dan membaharui liturgi suci memang tepat
dipandang sebagai tanda penyelenggaraan Allah atas zaman kita, sebagai gerakan
Roh Kudus dalam Gerejanya. Dan usaha itu menandai kehidupan Gereja-Nya. Dan
usaha itu menandai kehidupan Gereja, bahkan seluruh cara berpandangan dan
bertindak religius zaman kita ini dengan ciri yang khas. Maka untuk makin
mengembangkan kegiatan pastoral liturgisdalam Gereja, Konsili suci memutuskan:
44.
(Komisi Liturgi nasional)
Sebaiknya pemimpin gerejawi setempat yang berwenang, seperti
disebut dalam art. 22, (2), mendirikan Komisi Liturgi, yang harus didampingi
oleh orang-orang ahli dalam ilmu liturgi, musik serta kesenian liturgi, dan di bidang pastoral. Komisi itu
sedapat mungkin hendaknya dibantu oleh suatu Lembaga Liturgi Pastoral, yang
terdiri dari anggota-anggota yang mahir di bidang itu, bila perlu juga awam.
Di bawah ini bimbingan pimpinan gerejawi setempat, seperti tersebut di atas, komisi itu bertugas membina kegiatan pastoral liturgis dalam kawasannya, dan memajukan studi serta eksperimen-eksperimen yang perlu, kapan saja ada penyesuaian-penyesuaian yang perlu diajukan kepada Takhta Apostolik.
Di bawah ini bimbingan pimpinan gerejawi setempat, seperti tersebut di atas, komisi itu bertugas membina kegiatan pastoral liturgis dalam kawasannya, dan memajukan studi serta eksperimen-eksperimen yang perlu, kapan saja ada penyesuaian-penyesuaian yang perlu diajukan kepada Takhta Apostolik.
45.
(Komisi Liturgi Keuskupan)
Begitu pula di setiap
keuskupan hendaknya ada Komisi Liturgi untuk memajukan kegiatan liturgis di
bawah bimbingan Uskup.
Ada kalanya dapat berguna, bila berbagai keuskupan mendirikan satu komisi, untuk mengembangkan liturgi melalui musyawarah bersama.
Ada kalanya dapat berguna, bila berbagai keuskupan mendirikan satu komisi, untuk mengembangkan liturgi melalui musyawarah bersama.
46. (Komisi-komisi lain)
Selain Komisi Liturgi, hendaknya di setiap keuskupan sedapat
mungkin didirikan KomisiMusik Liturgi dan Komisi Kesenian Liturgi.
Penting sekali bahwa ketiga Komisi itu bekerja sama secara terpadu; bahkan tidak jarang akan lebih cocok bahwa ketiganya berpadu menjadi satu komisi.
Penting sekali bahwa ketiga Komisi itu bekerja sama secara terpadu; bahkan tidak jarang akan lebih cocok bahwa ketiganya berpadu menjadi satu komisi.
BAB DUA
– MISTERI EKARISTI SUCI
47. (Ekaristi suci dan misteri Paska)
Pada perjamuan terakhir, pada malam ia diserahkan, Penyelamat
kita mengadakan Kurban Ekaristi Tubuh dan Darah-Nya. Dengan demikian Ia
mengabdikan Kurban Salib untuk selamanya, dan mempercayakan kepada Gereja
Mempelai-Nya yang terkasih kenangan Wafat dan Kebangkitan-nya: sakramen
cintakasih, lambang kesatuan, ikatan cintakasih[36] ,
perjamuan Paskah. Dalam perjamuan itu Kristus disambut, jiwa dipenuhi rahmat, dan kita
dikurniai jaminan kemuliaan yang akan datang[37] .
48. (Keikut-sertaan aktif kaum beriman)
Maka dari itu Gereja dengan susah payah berusaha, jangan sampai
Umat beriman menghadiri misteri iman itu sebagai orang luar atau penonton yang
bisu, melainkan supaya melalui upacara dan doa-doa memahami misteri itu dengan
baik, dan ikut-serta penuh khidmat dan secara aktif. Hendaknya mereka rela
diajar oleh sabda Allah, disegarkan oleh santapan Tubuh Tuhan, bersyukur kepada
Allah. Hendaknya sambil mempersembahkan Hosti yang tak bernoda bukan saja
melalui tangan imam melainkan juga bersama dengannya, mereka belajar
mempersembahkan diri, dari hari ke hari – berkat perantaraan Kristus[38] – makin penuh dipersatukan dengan Allah dan antar
mereka sendiri, sehingga akhirnya Allah menjadi segalanya dalam semua.
49.
Maka dari itu, dengan memperhatikan perayaan Ekaristi yang
dihadiri Umat, terutama pada hari Minggu dan hari-hari raya wajib, konsili suci
menetapkan hal-hal berikut, supaya kurban Misa, pun juga bentuk upacara-upacaranya, mencapai hasil guna
pastoral yang sepenuhnya.
50. (Peninjauan kembali Tata perayaan Ekaristi)
Tata perayaan Ekaristi hendaknya ditinjau kembali sedemikian
rupa, sehingga lebih jelaslah makna masing-masing bagiannya serta hubungannnya
satu dengan yang lain. Dengan demikian Umat beriman akan lebih mudah ikut-serta
dengan khidmat dan aktif.
Maka dari itu hendaknya upacara-upacara disederhanakan, dengan tetap mempertahankan hal-hal yang pokok. Hendaknya dihilangkan saja semua pengulangan dan tambahan yang kurang berguna, yang muncul dalam perjalanan sejarah. Sedangkan beberapa hal, yang telah memudar karena dikikis waktu, hendaknya dihidupkan lagi selaras dengan kaidah-kaidah semasa para Bapa Gereja, bila itu nampaknya memang berguna atau perlu.
Maka dari itu hendaknya upacara-upacara disederhanakan, dengan tetap mempertahankan hal-hal yang pokok. Hendaknya dihilangkan saja semua pengulangan dan tambahan yang kurang berguna, yang muncul dalam perjalanan sejarah. Sedangkan beberapa hal, yang telah memudar karena dikikis waktu, hendaknya dihidupkan lagi selaras dengan kaidah-kaidah semasa para Bapa Gereja, bila itu nampaknya memang berguna atau perlu.
51. (Supaya Ekaristi diperkaya dengan sabda Kitab suci)
Agar santapan sabda Allah dihidangkan secara lebih melimpah
kepada umat beriman, hendaklah khazanah harta Alkitab dibuka lebih lebar,
sehingga dalam kurun waktu beberapa tahun bagian-bagian penting Kitab suci
dibacakan kepada Umat.
52. (Homili)
Homili sebagai bagian liturgi sendiri sangat dianjurkan. Di situ
hendaknya sepanjang tahun liturgi diuraikan mister-misteri iman dan
kaidah-kaidah hidup kristiani berdasarkan teks Kitab suci. Oleh karena itu dalam Misa hari Minggu dan hari raya wajib yang dihadiri Umat homili jangan
ditiadakan, kecuali bila ada alasan yang berat.
53. (Doa Umat)
Hendaknya sesudah Injil dan homili, terutama pada hari Minggu
dan hari raya wajib, diadakan lagi Doa Umat atau Doa kaum beriman, supaya
bersama dengan Umat dipanjatkanlah doa-doa permohonan bagi Gereja kudus, bagi
para pejabat pemerintah, bagi mereka yang sedang tertekan oleh pelbagai
kebutuhan, dan bagi semua orang serta keselamatan seluruh dunia[39] .
54. (Bahasa Latin dan bahasa pribumi dalam perayaan Ekaristi)
Sesuai dengan artikel 36 konstitusi ini, dalam Misa suci yang dirayakan bersama Umat bahasa pribumi dapat diberi
tempat yang sewajarnya, terutama dalam bacaan-bacaan dan doa Umat, dan – sesuai
dengan situasi setempat – juga dalam bagian-bagian yang menyangkut Umat.
Tetapi hendaknya diusahakan, supaya kaum beriman dapat bersama-sama mengucapkan atau menyayikan dalam bahasa latin juga bagian-bagian Misa yang tetap yang menyangkut mereka.
Namun bila pemakaian bahasa pribumi yang lebih luas dalam Misa nampaknya cocok, hendaknya ditepati peraturan art. 40 Konstitusi ini.
Tetapi hendaknya diusahakan, supaya kaum beriman dapat bersama-sama mengucapkan atau menyayikan dalam bahasa latin juga bagian-bagian Misa yang tetap yang menyangkut mereka.
Namun bila pemakaian bahasa pribumi yang lebih luas dalam Misa nampaknya cocok, hendaknya ditepati peraturan art. 40 Konstitusi ini.
55. (Komuni suci, puncak keikut-sertaan dalam Misa suci; Komuni dua rupa)
Dianjurkan dengan sangat partisipasi Umat yang lebih sempurna dalam Misa, dengan menerima Tubuh Tuhan dari Kurban itu juga sesudah imam
menyambut Komuni.
Atas kebijaksanaan para Uskup, Komuni dua rupa dapat diizinkan baik bagi kaum rohaniwan dan relegius, maupun bagi kaum awam, dalam hal-hal yang perlu ditentukan oleh Takhta suci, misalnya bagi para tahbisan baru dalam Misa pentahbisan mereka, bagi para prasetyawan dalm Misa pengikraran kaul-kaul relegius, bagi para baptisan baru dalamMisa sesudah pembaptisan. Dalam hal itu prinsip-prinsip dokmatis Konsili Trente[40] hendaknya tetap dipertahankan.
Atas kebijaksanaan para Uskup, Komuni dua rupa dapat diizinkan baik bagi kaum rohaniwan dan relegius, maupun bagi kaum awam, dalam hal-hal yang perlu ditentukan oleh Takhta suci, misalnya bagi para tahbisan baru dalam Misa pentahbisan mereka, bagi para prasetyawan dalm Misa pengikraran kaul-kaul relegius, bagi para baptisan baru dalamMisa sesudah pembaptisan. Dalam hal itu prinsip-prinsip dokmatis Konsili Trente[40] hendaknya tetap dipertahankan.
56.
(Kesatuan Misa)
Misa suci dapat dikatakan terdiri dari dua bagian, yakni liturgi
sabda dan liturgi Ekaristi. Keduanya begitu erat berhubungan, sehingga
merupakan satu tindakan ibadat. Maka Konsili suci dengan sangat mengajak para
gembala jiwa, supaya mereka dalammenyelenggarakan katekese dengan tekun mengajarkan agar Umat
beriman menghadiri seluruh Misa, terutama pada hari Minggu dan hari raya wajib.
57. (Konselebrasi)
1. Konselebrasi sungguh cocok untuk menampakkan kesatuan imamat.
Hingga sekarang konselebrasi tetap masih dijalankan dalam Gereja Timur maupun Barat.
Maka Konsili berkenan memperluas izin untuk berkonselebrasi sehingga meliputi kesempatan-kesempatan berikut:
1) a). pada hari Kamis Putih, baik dalam Misa Krisma maupun dalam Misa sore Perjamuan Tuhan;
b). pada Misa suci selama Konsili, sidang Konferensi Uskup dan sidang Sinode;
c). pada Misa suci pelantikan seorang Abas.
2) Selain itu, seizin Uskup setempat, yang berwenang menilai baik tidaknya mengadakan konselebrasi:
a) pada Misa komunitas biara dan pada Misa utama dalam gereja-gereja, bila demi kepentingan Umat
beriman tidak diinginkan, bahwa semua imam yang hadir mempersembahkan Misa sendiri-sendiri;
b) pada Misa dalam pertemuan manapun juga, yang dihadiri para imam diosesan maupun religius;
2. 1). Adalah wewenang Uskup untuk mengatur tata cara konselebrasi di keuskupannya.
2). Namun hendaknya setiap imam tetap diperbolehkan mengorbankan Misa sendiri, asal jangan pada saat
yang bersamaan dalam gereja yang sama; juga asal jangan pada hari Kamis Putih Perjamuan Tuhan.
Maka Konsili berkenan memperluas izin untuk berkonselebrasi sehingga meliputi kesempatan-kesempatan berikut:
1) a). pada hari Kamis Putih, baik dalam Misa Krisma maupun dalam Misa sore Perjamuan Tuhan;
b). pada Misa suci selama Konsili, sidang Konferensi Uskup dan sidang Sinode;
c). pada Misa suci pelantikan seorang Abas.
2) Selain itu, seizin Uskup setempat, yang berwenang menilai baik tidaknya mengadakan konselebrasi:
a) pada Misa komunitas biara dan pada Misa utama dalam gereja-gereja, bila demi kepentingan Umat
beriman tidak diinginkan, bahwa semua imam yang hadir mempersembahkan Misa sendiri-sendiri;
b) pada Misa dalam pertemuan manapun juga, yang dihadiri para imam diosesan maupun religius;
2. 1). Adalah wewenang Uskup untuk mengatur tata cara konselebrasi di keuskupannya.
2). Namun hendaknya setiap imam tetap diperbolehkan mengorbankan Misa sendiri, asal jangan pada saat
yang bersamaan dalam gereja yang sama; juga asal jangan pada hari Kamis Putih Perjamuan Tuhan.
58.
Hendaknya disusun upacara konselebrasi yang baru, dan disisipkan
dalam buku Pontificale dan dalam buku Missale Romanum.
BAB TIGA
– SAKRAMEN-SAKRAMEN LAINNYA DAN SAKRAMENTALI
59. (Hakikat Sakramen)
Sakramen-sakramen
dimaksudkan untuk menguduskan manusia, membangun Tubuh Kristus, dan akhirnya
mempersembahkan ibadat kepada Allah. Tetapi sebagai tanda sakramen juga
dimaksudkan untuk mendidik. Sakramen tidak hanya mengandaikan iman, melainkan
juga memupuk, meneguhkan dan mengungkapkannya dengan kata-kata dan benda. Maka
juga disebut sakramen iman. Memang sakramen memperolehkan rahmat, tetapi
perayaan sakramen itu sendiri juga dengan amat baik menyiapkan kaum beriman
untuk menerima rahmat itu yang membuahkan hasil nyata, untuk menyembah Allah
secara benar, dan untuk mengamalkan cinta kasih.
Maka dari itu sangat pentinglah bahwa Umat beriman dengan mudah memahami lambang-lambang Sakramen, dan dengan sepenuh hati sering menerima Sakramen-sakramen, yang diadakan untuk memupuk hidup kristiani.
Maka dari itu sangat pentinglah bahwa Umat beriman dengan mudah memahami lambang-lambang Sakramen, dan dengan sepenuh hati sering menerima Sakramen-sakramen, yang diadakan untuk memupuk hidup kristiani.
60. (Sakramentali)
Selain itu Bunda Gereja
kudus telah mengadakan sakramentali, yakni tanda-tanda suci, yang memiliki
kemiripan dengan Sakramen-sakramen. Sakramentali itu menandakan kurnia-kurnia,
terutama yang bersifat rohani, dan yang diperoleh berkat doa permohonan Gereja.
Melalui sakramentali itu hati manusia disiapkan untuk menerima buah utama
Sakramen-sakramen dan pelbagai situasi hidup disucikan.
61. (Nilai pastoral liturgi; hubungannya dengan misteri
Paska)
Dengan demikian berkat
liturgi Sakramen-sakramen dan sakramentali bagi kaum beriman yang hatinya
sungguh siap hampir setiap peristiwa hidup dikuduskan dengan rahmat ilahi yang
mengalir dari misteri Paska Sengsara, Wafat dan Kebangkitan Kristus. Dari
misteri itulah semua Sakramen dan sakramentali menerima daya kekuatannya. Dan
bila manusia menggunakan benda-benda dengan pantas, boleh dikatakan tidak ada
satupun yang tak dapat dimanfaatkan untuk menguduskan manusia dan memuliakan
Allah.
62. (Perlunya meninjau kembali upacara Sakramen-sakramen)
Akan tetapi dalam perjalanan sejarah ada beberapa hal yang
menyusupi upacara Sakramen-sakramen dan sakramentali, sehingga hakikat serta
tujuannya menjadi kurang jelas bagi kita sekarang. Oleh karena itu perlulah
beberapa hal dalam upacara itu disesuaikan dengan kebutuhan zaman kita. Maka
Konsili suci menetapkan pokok-pokok pembaharuan berikut.
63. (Bahasa; Rituale Romawi dan rituale khusus)
Dalam pelayanan Sakramen-sakramen dan sakramentali tidak jarang
pemakaian bahasa pribumi dapat sangat berguna bagi Umat. Maka hendaknya bahasa
pribumi digunakan secara lebih luas menurut kaidah-kaidah berikut:
Dalam pelayanan Sakramen-sakramen dan sakramentali dapat digunakan bahasa pribumi menurut kaidah art. 36. menurut terbitan baru Rituale Romawi hendaknya oleh pimpinan Gereja setempat yang berwenang menurut art. 22 (2) Konstitusi ini selekas mungkin disiapkan rituale-rituale khusus yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah juga mengenai bahasanya. Dan hendaknya rituale-rituale itu digunakan di daerah-daerahyang bersangkutan, setelah mendapat persetujuan Takhta Apostolik. Tetapi dalam menyusun rituale atau kumpulan khas upacara-upacara itu janganlah diabaikan petunjuk-petunjuk yang tercantum dalam Rituale Romawi untuk setiap upacara, entah yang bersifat pastoral dan berupa rubrik, entah yang mempunyai makna sosial istimewa.
Dalam pelayanan Sakramen-sakramen dan sakramentali dapat digunakan bahasa pribumi menurut kaidah art. 36. menurut terbitan baru Rituale Romawi hendaknya oleh pimpinan Gereja setempat yang berwenang menurut art. 22 (2) Konstitusi ini selekas mungkin disiapkan rituale-rituale khusus yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah juga mengenai bahasanya. Dan hendaknya rituale-rituale itu digunakan di daerah-daerahyang bersangkutan, setelah mendapat persetujuan Takhta Apostolik. Tetapi dalam menyusun rituale atau kumpulan khas upacara-upacara itu janganlah diabaikan petunjuk-petunjuk yang tercantum dalam Rituale Romawi untuk setiap upacara, entah yang bersifat pastoral dan berupa rubrik, entah yang mempunyai makna sosial istimewa.
64. (Katekumenat)
Katekumenat bertahap
untuk orang dewasa hendaklah dihidupkan lagi dan dilaksanakan menurut
kebijaksanaan Uskup setempat. Dengan demikian masa katekumenat, yang
dimaksudkan untuk pembi naan yang memadai, dapat disucikan dengan merayakan
upacara-upacara suci secara berturut-turut.
65.
Selain apa yang terdapat dalam tradisi kristiani, di daerah-daerah Misi boleh dimasukkan juga unsur-unsur inisiasi yang terdapat
sebagai kebiasaan masingmasing bangsa, sejauh itu dapat disesuaikan dengan
upacara kristiani, menurut kaidah art. 37 – 40 Konstitusi ini.
66. (Peninjauan kembali upacara baptis)
Kedua bentuk upacara pembaptisan orang dewasa, maupun – dengan
memperhatikan katekumenat yang diperbaharui – yang meriah, hendaknya ditinjau
kembali. Selain itu kedalam Misal Romawi hendaknya
dimasukkan Misa khusus: Pada upacara pembaptisan.
67.
Upacara pembaptisan kanak-kanak hendaknya ditinjau kembali dan
disesuaikan dengan kenyataan bahwa yang dibaptis itu masih bayi. Dalam upacara itu hendaknya menjadi lebih jelas peran orang tua dan
orangtua baptis beserta tugas-tugas mereka.
68.
Hendaknya dalam upacara Baptis diadakan penyesuaian-penyesuaian menurut
kebijaksanaan Uskup setempat, bila banyak orang meminta dibaptis. Begitu pula
hendaknya disusun Tata upacara yang lebih ringkas, yang terutama di daerah-daerah Misi dapat dipakai oleh para katekis, dan pada umumnya juga dalam bahaya maut oleh kaum beriman, bila tiada imam atau diakon.
69.
Untuk menggantikan apa yang disebut Tata laksana untuk
melengkapi apa yang dilewati dalam pembaptisan kanak-kanak hendaknya disusun
upacara baru, supaya secara lebih jelas dan memadai dinyatakan bahwa
kanak-kanak yang telah dibaptis dengan rumus singkat sudah diterima kedalam Gereja.
Begitu pula hendaknya disusun upacara baru untuk mereka yang sudah dibaptis secara sah, lalu hendak berpindah masuk Gereja katolik yang kudus, untuk menyatakan, bahwa mereka diterima kedalam persekutuan Gereja.
Begitu pula hendaknya disusun upacara baru untuk mereka yang sudah dibaptis secara sah, lalu hendak berpindah masuk Gereja katolik yang kudus, untuk menyatakan, bahwa mereka diterima kedalam persekutuan Gereja.
70.
Di luar masa Paska air baptis dapat diberkati dalam upacara Baptis sendiri dengan rumus lebih singkat yang sudah
disahkan.
71. (Peninjauan kembali upacara sakramen Krisma)
Upacara Krisma hendaknya ditinjau kembali juga supaya lebih
nampak jelas hubungan erat Sakramen itu dengan seluruh inisiasi kristiani. Maka
dari itu pembaharuan janji-janji Baptis seyogyanya mendahului penerimaan
Sakramen Krisma.
Bila ada kesempatan baik, penerimaan Krisma dapat diselenggarakan dalam Misa suci. Sedangkan mengenai upacara di luar Misa, hendaknya disediakan upacara pendahuluan.
Bila ada kesempatan baik, penerimaan Krisma dapat diselenggarakan dalam Misa suci. Sedangkan mengenai upacara di luar Misa, hendaknya disediakan upacara pendahuluan.
72. (Penijauan kembali upacara Tobat)
Upacara dan rumus untuk
Sakramen Tobat hendaknya ditinjau kembali sedemikian rupa, sehingga hakikat dan
buah Sakramen terungkap secara lebih jelas.
73. (Peninjauan kembali upacara Pengurapan Orang Sakit)
“Pengurapan terakhir”, atau lebih tepat lagi disebut “Pengurapan
Orang Sakit”, bukanlah Sakramen bagi mereka yang berada diambang kematian saja.
Maka saat yang baik untuk menerimanya pasti sudah tiba, bila orang beriman
mulai ada dalam bahaya maut karena menderita sakit atau sudah lanjut usia.
74.
Selain upacara
Pengurapan Orang Sakit dan upacara Komuni bekal suci secara terpisah, hendaknya
disusun Tata upacara berkesinambungan, yang mencantumkan penerimaan Pengurapan
Orang Sakit sesudah Sakramen Tobat dan sebelum Komuni bekal suci.
75.
Jumlah pengurapan
hendaknya disesuaikan dengan keadaan si penderita, dan doa-doa yang termasuk
upacara Pengurapan Orang Sakit hendaknya ditinjau kembali sedemikian rupa,
sehingga cocok dengan pe lbagai keadaan para penderita yang menerima Sakramen.
76. (Peninjauan kembali Sakramen Tahbisan)
Upacara Tahbisan hendaknya ditinjau kembali baik tata-laksananya
maupun naskahnya. Amanat Uskup, pada awal Tahbisan imam atau Tahbisan Uskup,
dapat disampaikan dalam bahasa pribumi. Dalam Tahbisan Uskup penumpangan tangan boleh dilakukan oleh semua
Uskup yang hadir.
77. (Peninjauan kembali Sakramen Perkawinan)
Upacara perayaan Perkawinan, yang terdapat dalam Rituale Romawi, hendaknya ditinjau kembali dan diperkaya,
sehingga lebih jelas dilambangkan rahmat Sakramen serta tugas-tugas suami –
istri.
“Konsil suci sangat mengharapkan, supaya – sekiranya ada wilayah-wilayah yang dalammerayakan Sakramen Perkawinan mempunyai adat-kebiasaan atau upacara-upacara lain yang layak dipuji, – itu dipertahankan sepenuhnya”[41] .
Kecuali itu pimpinan gerejawi setempat, seperti disebut dalam art. 22, (2) Konstitusi ini, berwenang menyusun upacara khusus yang sesuai dengan adat kebiasaan daerah-daerahserta bangsa-bangsa, menurut kaidah art. 63, dengan tetap mempertahankan hukum, bahwa iman yang menjadi saksi menanyakan dan menerima persetujuan mereka yang menikah.
“Konsil suci sangat mengharapkan, supaya – sekiranya ada wilayah-wilayah yang dalammerayakan Sakramen Perkawinan mempunyai adat-kebiasaan atau upacara-upacara lain yang layak dipuji, – itu dipertahankan sepenuhnya”[41] .
Kecuali itu pimpinan gerejawi setempat, seperti disebut dalam art. 22, (2) Konstitusi ini, berwenang menyusun upacara khusus yang sesuai dengan adat kebiasaan daerah-daerahserta bangsa-bangsa, menurut kaidah art. 63, dengan tetap mempertahankan hukum, bahwa iman yang menjadi saksi menanyakan dan menerima persetujuan mereka yang menikah.
78.
Pada umumnya upacara perkawinan hendaknya dilangsungkan dalam Misa suci, sesudah pembacaan Injil dan Homili, sebelum Doa Umat. Doa
atas mempelai wanita hendaknya, dipugar dengan baik, sehingga mencantumkan
dengan jelas bahwa kedua mempelai sama-sama mempunyai kewajiban untuk saling
setia. Doa itu dapat diucapkan dalam bahasa pribumi.
Tetapi bila Sakramen Perkawinan dirayakan tanpa Misa, hendaknya pada awal upacara dibacakan Epistola dan Injil Misa untuk mempelai, dan berkat mempelai hendaknya selalu diberikan.
Tetapi bila Sakramen Perkawinan dirayakan tanpa Misa, hendaknya pada awal upacara dibacakan Epistola dan Injil Misa untuk mempelai, dan berkat mempelai hendaknya selalu diberikan.
79. (Peninjauan kembali sakramentali)
Hendaknya sakramentali ditinjau kembali mengan mengindahkan
kaidah-kaidah dasar tentang keikut-sertaan kaum beriman secara sadar dan aktif
dan dengan mudah, dan dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan zaman kita. Dalam meninjau kembali buku-buku Kumpulan Upacara (rituale) menurut kaidah
art. 63, dapat ditambahkan juga sakramentali baru sejauh diperlukan.
Pemberkatan-pemberkatan dengan kuasa khusus hendaknya sesedikit mungkin, dan hanya diperuntukan bagi para Uskup dan pimpinan gerejawi.
Hendaknya diusahakan agar beberapa sakramentali dapat dilayani oleh para awam yang pantas untuk tugas itu, sekurang-kurangnya dalam keadaan-keadaan istimewa dan sesuai dengan kebijakan Uskup.
Pemberkatan-pemberkatan dengan kuasa khusus hendaknya sesedikit mungkin, dan hanya diperuntukan bagi para Uskup dan pimpinan gerejawi.
Hendaknya diusahakan agar beberapa sakramentali dapat dilayani oleh para awam yang pantas untuk tugas itu, sekurang-kurangnya dalam keadaan-keadaan istimewa dan sesuai dengan kebijakan Uskup.
80.
(Pengikraran kaul relegius)
Upacara Prasetya para Perawan, yang terdapat dalam Pontifikale Romawi, hendaknya ditinjau kembali.
Selain itu hendaknya disusun upacara pengikraran kaul relegius dan pembaharuan kaul-kaul, meningkatkan keutuhan, kesederhanaan dan keluhuran upacara. Upacara itu hendaknya dilaksanakan oleh mereka, yang mengikrarkan atau membaharui kaul-kauldalam Misa. Hukum khas tetap dipertahankan.
Sangat dianjurkan supaya pengikraran kaul relegius dilaksanakan dalam Misa.
Selain itu hendaknya disusun upacara pengikraran kaul relegius dan pembaharuan kaul-kaul, meningkatkan keutuhan, kesederhanaan dan keluhuran upacara. Upacara itu hendaknya dilaksanakan oleh mereka, yang mengikrarkan atau membaharui kaul-kauldalam Misa. Hukum khas tetap dipertahankan.
Sangat dianjurkan supaya pengikraran kaul relegius dilaksanakan dalam Misa.
81. (Peninjauan kembali upacara pemakaman)
Upacara pemakaman hendaknya mengungkapkan dengan lebih jelas
ciri Paska kematian Kristiani, dan hendaknya lebih disesuiakan dengan situasi
dan adat-istiadat masing-masingdaerah,
termasuk mengenai warna liturginya.
82.
Hendaknya upacara penguburan anak-anak ditinjau kembali, dan
disusun rumus Misayang khusus.
BAB EMPAT – IBADAT HARIAN
83. (Ibadat harian, karya Kristus dan Gereja)
Dengan mengenakan kodrat manusiawi, Kristus Yesus, Imam Agung
Perjanjian Baru dan kekal, telah memasukkan ke dalam pengasingan di dunia ini madah, yang di sepanjang segala abad
dinyayikan di bangsal surgawi. Ia menghimpun seluruh umat manusia di sekeliling-Nya,
dan mengikutsertakannya melambungkan kidung pujian ilahi-Nya.
Sebab Ia melestarikan tugas imamat-Nya itu melalui Gereja-nya. Gereja tiada putusnya memuji Tuhan dan memohonkan keselamatan seluruh dunia bukan hanya dengan merayakan Ekaristi, melainkan dengan cara-cara lain juga, terutama dengan mendoakan Ibadat Harian.
Sebab Ia melestarikan tugas imamat-Nya itu melalui Gereja-nya. Gereja tiada putusnya memuji Tuhan dan memohonkan keselamatan seluruh dunia bukan hanya dengan merayakan Ekaristi, melainkan dengan cara-cara lain juga, terutama dengan mendoakan Ibadat Harian.
84.
Berdasarkan Tradisi
kristiani yang kuno Ibadat Harian disusun sedemikian rupa, sehingga seluruh
kurun hari dan malam disucikan dengan pujian kepada Allah. Adapun bila nyayian
pujian yang mengagumkan itu dilaksanakan dengan baik oleh para imam dan
orang-orang lain, yang atas ketetapan Gereja ditugaskan untuk maksud itu, atau
oleh Umat beriman, sambil berdoa bersama dengan Imam memakai bentuk yang telah
disahkan, pada saat itu sungguh merupakan suara Sang Mempelai sendiri, yang
berwawancara dengan Mempelai Pria, bahkan juga doa Kristus beserta Tubuh-Nya
kepada Bapa.
85.
Maka dari itu semua orang yang mendoakan Ibadat Harian,
menunaikan tugas Gereja, maupun ikut serta dalam kehormatan tertinggi Mempelai Kristus. Sebab seraya melambungkan
pujian kepada Allah mereka berdiri di hadapan takhta atas nama Bunda Gereja.
86. (Nilai pastoral Ibadat Harian)
Para imam yang mengemban pelayanan pastoral yang suci, akan
mendoakan Ibadat Harian dengan makin bersemangat, semakin mereka sadari secara
mendalam bahwa mereka harus mematuhi nasehat Paulus: “Berdoalah tiada
hentinya” (1Tes 5:17). Sebab hanya Tuhanlah yang dapat mengurniakan hasil guna
dan pertumbuhan kepada karya yang mereka laksanakan, menurut sabda-Nya: “Tanpa
Aku kamu tidak berbuat apa-apa” (Yoh 15:5). Maka ketika mengangkat para diakon,
para Rasul berkata: “Kamu sendiri akan memusatkan pikiran pada pelayanan sabda”
(Kis 6:4).
87.
Tetapi supaya dalam kenyataan sekarang ini Ibadat Harian didoakan dengan lebih baik
dan lebih sempurna oleh para imam maupun para anggota Gereja lainnya, konsili
suci – seraya melanjutkan pembaharuan yang telah dirintis dengan baik oleh
Takhta suci – berkenan menetapkan hal-hal berikut tentang Ibadat Harian menurut
Ritus Romawi.
88. (Peninjauan kembali pembagian waktu Ibadat menurut
Tradisi)
Tujuan Ibadat Harian
yakni pengudusan seluruh hati. Maka pembagian waktu ibadat yang kita waris
hendaknya ditata kembali sedemikian rupa, sehingga ibadat-ibadat sedapat mungkin
dilaksanakan pada saat yang tepat, sekaligus juga diperhitungkan situasi hidup
zaman sekarang, terutama bagi mereka yang bertekun menjalankan karya-karya
kerasulan.
89.
Maka penataan kembali Ibadat harian hendaknya dilaksanakan
menurut kaidah-kaidah berikut:
a) menurut tradisi mulia Gereja semesta, Laudes atau Ibadat Pagi dan Vesper atau Ibadat Sore harus dipandang dan dirayakan sebagai poros rangkap Ibadat Harian, sebagai dua Ibadat yang utama;
b) Ibadat penutup (Kompletorium) hendaknya disusun sedemikian rupa, sehingga sungguh cocok dengan akhir hari;
c) Yang disebut Matutinium, meskipun bila didaras dalam koor tetap memiliki ciri pujian malam, hendaklah disesuaikan sedemikian rupa,sehingga dapat didoakan setiap saat pada siang hari; dan jumlah mazmurnya hendaknya jangan terlalu banyak, sedangkan bacaan-bacaannya hendaknya lebih panjang;
d) Ibadat Prima hendaklah ditiadakan;
e) Dalam koor ibadat-ibadat singkat, yakni Tertia, Sexta dan Nona, hendaklah dipertahankan. Dalam pendarasan di luar koor boleh dipilih salah satu dari ketiganya, yakni yang cocok dengan saat hari yang bersangkutan.
a) menurut tradisi mulia Gereja semesta, Laudes atau Ibadat Pagi dan Vesper atau Ibadat Sore harus dipandang dan dirayakan sebagai poros rangkap Ibadat Harian, sebagai dua Ibadat yang utama;
b) Ibadat penutup (Kompletorium) hendaknya disusun sedemikian rupa, sehingga sungguh cocok dengan akhir hari;
c) Yang disebut Matutinium, meskipun bila didaras dalam koor tetap memiliki ciri pujian malam, hendaklah disesuaikan sedemikian rupa,sehingga dapat didoakan setiap saat pada siang hari; dan jumlah mazmurnya hendaknya jangan terlalu banyak, sedangkan bacaan-bacaannya hendaknya lebih panjang;
d) Ibadat Prima hendaklah ditiadakan;
e) Dalam koor ibadat-ibadat singkat, yakni Tertia, Sexta dan Nona, hendaklah dipertahankan. Dalam pendarasan di luar koor boleh dipilih salah satu dari ketiganya, yakni yang cocok dengan saat hari yang bersangkutan.
90. (Ibadat Harian sumber kesalehan)
Kecuali itu sebagai doa resmi Gereja Ibadat Harian menjadi
sumber kesalehan dan membekali doa pribadi. Oleh karena itu para imam dan semua
orang lain yang ikut mendaras Ibadat Harian diminta dalam Tuhan supaya dalam
melaksanakannya hati mereka berpadu dengan apa uang mereka ucapkan. Supaya itu
tercapai dengan lebih baik , hendaknya mereka mengusahakan pembinaan yang lebih
mendalam tentang liturgi dan Kitab suci, terutama mazmur-mazmur.
Adapun dalam melaksanakan pembaharuan hendaknya perbendaharaan Ibadat Romawi yang terpuji dan abadi itu disesuaikan sedemikian rupa, sehingga siapa saja yang mewarisinya dapat menikmatinya secara lebih leluasa dan lebih mudah.
Adapun dalam melaksanakan pembaharuan hendaknya perbendaharaan Ibadat Romawi yang terpuji dan abadi itu disesuaikan sedemikian rupa, sehingga siapa saja yang mewarisinya dapat menikmatinya secara lebih leluasa dan lebih mudah.
91.
(Pembagian mazmur-mazmur)
Supaya pembagian waktu Ibadat Harian, seperti telah diutarakan
dalam art. 89, sungguh dapat ditepati, hendaknya mazmur-mazmur jangan lagi
dibagi-bagikan dalam lingkaran satu pekan, melainkan dalam kurun waktu yang lebih lama.
Karya peninjauan kembali lingkaran mazmur, yang sudah dirintis dengan begitu baik, hendaknya disesuaikan selekas mungkin. Hendaklah diperhatikan gaya bahasa Latin Kristiani, pemakiannya dalam liturgi, juga dalam nyayian, dan seluruh tradisi Gereja Latin.
Karya peninjauan kembali lingkaran mazmur, yang sudah dirintis dengan begitu baik, hendaknya disesuaikan selekas mungkin. Hendaklah diperhatikan gaya bahasa Latin Kristiani, pemakiannya dalam liturgi, juga dalam nyayian, dan seluruh tradisi Gereja Latin.
92.
(Penyusunan bacaan-bacaan)
Mengenai bacaan-bacaan hendaklah dijalankan hal-hal berikut:
a) Bacaan-bacaan Kitab suci hendaknya disusun sedemikian rupa, sehingga harta kekayaan sabda ilahi dengan mudah tersedia dalam kelimpahannya yang lebih penuh;
b) Bacaan-bacaan dari karya para Bapa dan para Pujangga Gereja serta dari Pengarang gerejawi hendaknya dipilih dengan lebih baik;
c) Kisah para Martir atau riwayat para Kudus hendaknya disesuaikan dengan kebenaran sejarah.
a) Bacaan-bacaan Kitab suci hendaknya disusun sedemikian rupa, sehingga harta kekayaan sabda ilahi dengan mudah tersedia dalam kelimpahannya yang lebih penuh;
b) Bacaan-bacaan dari karya para Bapa dan para Pujangga Gereja serta dari Pengarang gerejawi hendaknya dipilih dengan lebih baik;
c) Kisah para Martir atau riwayat para Kudus hendaknya disesuaikan dengan kebenaran sejarah.
93. (Peninjauan kembali madah-madah)
Bila dirasa berguna, hendaknya madah-madah dikembalikan kepada
bentuknya yang asli, dengan meniadakan atau mengubah apa yang berbau mitologi
atau kurang selaras dengan kesalehan kristiani. Bila dipandang sesuai,
hendaknya ditampung juga madah-madah yang terdapat dalam perbendaharaan madah.
94. (Saat mendoakan Ibadat Harian)
Supaya seluruh hari
sungguh disucikan, dan Ibadat Harian didaras dengan penuh buah rohani, lebih
baiklah bahwa untuk menunaikan iba dat-ibadat diambil saat, yang paling dekat
dengan yang sesungguhnya bagi setiap ibadat kanonik.
95. (Kewajiban mendoakan Ibadat Harian)
Komunitas-komunitas yang terikat kewajiban doa koor, disamping
mengadakan Misakomunitas, setiap hari wajib merayakan Ibadat Harian dalam koor. Khususnya:
a) Dewan Pembantu Uskup, para rahib dan rubiah, serta para imam biarawan lainya, yang terikat pada Ibadat Harian bersama menurut hukum atau konstitusi tarekat, wajib mendoakan seluruh Ibadat Harian;
b) Dewan para imam katedral atau para penasehat Uskup wajib mendoakan bagian-bagian Ibadat Harian, yang diwajibkan berdasarkan hukum umum atau hukum khusus;
c) Semua anggota komunitas-komunitas itu, yang telah menerima Tahbisan tinggi, atau sudah mengikrarkan kaul-kaul meriah, kecuali para bruder, wajib mendaras sendiri bagian-bagian Ibadat Harian yang tidak mereka doakan dalam koor.
a) Dewan Pembantu Uskup, para rahib dan rubiah, serta para imam biarawan lainya, yang terikat pada Ibadat Harian bersama menurut hukum atau konstitusi tarekat, wajib mendoakan seluruh Ibadat Harian;
b) Dewan para imam katedral atau para penasehat Uskup wajib mendoakan bagian-bagian Ibadat Harian, yang diwajibkan berdasarkan hukum umum atau hukum khusus;
c) Semua anggota komunitas-komunitas itu, yang telah menerima Tahbisan tinggi, atau sudah mengikrarkan kaul-kaul meriah, kecuali para bruder, wajib mendaras sendiri bagian-bagian Ibadat Harian yang tidak mereka doakan dalam koor.
96.
Para rohaniwan
(klerus), yang tidak terikat kewajiban doa koor, bila sudah menerima Tahbisan
tinggi, setiap hari wajib mendoakan seluruh Ibadat Harian, entah secara
bersama, entah sendiri-sendiri, menurut kaidah art. 89.
97.
Hendaknya ada rubrik
yang menetapkan, kapan ibadat harian seyogyanya diganti dengan kegiatan
liturgis lain. Bila ada hal-hal khusus dan ada alasan yang memadai, Uskup dapat
membebaskan bawahannya dari kewajiban mendoakan Ibadat Harian seluruhnya atau
sebagian, atau menggantinya dengan kewajiban lain.
98. (Pujian kepada Allah dalam tarekat-tarekat relegius)
Para anggota setiap
Tarekat status kesempurnaan, yang berdasarkan Konstitusi mendoakan beberapa
bagian Ibadat Harian, melaksanakan doa resmi Gereja.
Begitu pula mereka melakukan doa resmi Gereja, bila berdasarkan Konstitusi mendaras suatu Ofisi singkat, asal Ofisi itu disusun menurut pola Ibadat Harian dan disahkan menurut hukum.
Begitu pula mereka melakukan doa resmi Gereja, bila berdasarkan Konstitusi mendaras suatu Ofisi singkat, asal Ofisi itu disusun menurut pola Ibadat Harian dan disahkan menurut hukum.
99.
(Ibadat Harian bersama)
Ibadat harian merupakan suara Gereja atau segenap Tubuh mistik
yang memuji Allah secara resmi. Maka dianjurkan supaya para rohaniwan yang
tidak terikat kewajiban doa koor, pun terutama para imam yang hidup bersama
atau sedang bersidang, sekurang-kurangnya mendoakan bersama suatu bagian Ibadat
Harian.
Semua saja yang mendoakan Ibadat Harian dalam koor atau hanya bersama, hendaklah menunaikan tugas yang dipercayakan kepada mereka itu sesempurna mungkin, baik dengan sikap batin yang saleh, maupun dengan penampilan yang khidmat.
Selain itu lebih baiklah, bahwa – bila keadaan mengizinkan – Ibadat Harian dinyayikandalam koor maupun secara bersama.
Semua saja yang mendoakan Ibadat Harian dalam koor atau hanya bersama, hendaklah menunaikan tugas yang dipercayakan kepada mereka itu sesempurna mungkin, baik dengan sikap batin yang saleh, maupun dengan penampilan yang khidmat.
Selain itu lebih baiklah, bahwa – bila keadaan mengizinkan – Ibadat Harian dinyayikandalam koor maupun secara bersama.
100. (Keikut-sertaan Umat beriman)
Para gembala jiwa
hendaknya berusaha, supaya ibadat-ibadat pokok, terutama Ibadat Sore, pada hari
Minggu dan hari-hari raya yang lebih meriah dirayakan bersam di gereja.
Dianjurkan agar para awam pun mendaras Ibadat Harian, entah bersama para imam,
entah antar mereka sendiri, atau bahkan secara perorangan.
101. (Bahasa)
(1) Sesuai dengan tradisi Ritus Latin yang sudah berabad-abad,
hendaknya dalam Ibadat Harian dipertahankan bahasa Latin bagi kaum rohaniwan.
Namun dalam hal-hal tertentu Uskup berwenag mengizinkan penggunaan terjemahan dalam bahasa pribumi menurut kaidah art. 36, bagi para rohaniwan, yang
dengan memakai bahasa Latin mengalami hambatan berat untuk mendoakan Ibadat
Harian sebagaimana mestinya.
(2) Para rubiah, begitu pula para anggota Tarekat-tarekat hidup membiara, baik pr ia bukan rohaniwan maupun wanita, dapat diizinkan oleh Pembesar yang berwenang untuk mendoakan Ibadat Harian, juga dalam koor, dalam bahasa pribumi, asal terjemahan itu sudah disahkan.
(3) Setiap rohaniwan yang wajib mendoakan Ibadat Harian, bila bersama dengan jemaat beriman, atau bersama dengan mereka yang disebutkan pada (2), merayakan Ibadat itudalam bahasa pribumi, sudah memenuhi kewajibannya, asal naskah terjemahannya sudah disahkan.
(2) Para rubiah, begitu pula para anggota Tarekat-tarekat hidup membiara, baik pr ia bukan rohaniwan maupun wanita, dapat diizinkan oleh Pembesar yang berwenang untuk mendoakan Ibadat Harian, juga dalam koor, dalam bahasa pribumi, asal terjemahan itu sudah disahkan.
(3) Setiap rohaniwan yang wajib mendoakan Ibadat Harian, bila bersama dengan jemaat beriman, atau bersama dengan mereka yang disebutkan pada (2), merayakan Ibadat itudalam bahasa pribumi, sudah memenuhi kewajibannya, asal naskah terjemahannya sudah disahkan.
BAB LIMA – TAHUN LITURGI
102.
(Makna tahun liturgi)
Bunda Gereja yang penuh
kasih memandang sebagai tugasnya: pada hari-hari tertentu di sepanjang tahun
merayakan karya penyelamatan Mempelai ilahinya dengan kenangan suci. Sekali
seminggu, pada hari yang disebut Hari Tuhan, Gereja mengenangkan Kebangkitan
Tuhan, yang sekali setahun, pada hari raya agung Paska, juga dirayakannya
bersama dengan Sengsara-Nya yang suci.
Namun selama kurun waktu setahun Gereja memaparkan seluruh misteri Kristus, dari Penjelmaan serta Kelahiran-Nya hingga Kenaikan-Nya, sampai hari Pentekosta dan sampai penantian kedatangan Tuhan yang bahagia dan penuh harapan.
Dengan mengenangkan misteri-misteri Penebusan itu Gereja membuka bagi kaum beriman kekayaan keutamaan serta pahala Tuhan-nya sedemikian rupa, sehingga rahasia-rahasia itu senantiasa hadir dengan cara tertentu. Umat mencapai misteri-misteri itu dan dipenuhi dengan rahmat keselamatan.
Namun selama kurun waktu setahun Gereja memaparkan seluruh misteri Kristus, dari Penjelmaan serta Kelahiran-Nya hingga Kenaikan-Nya, sampai hari Pentekosta dan sampai penantian kedatangan Tuhan yang bahagia dan penuh harapan.
Dengan mengenangkan misteri-misteri Penebusan itu Gereja membuka bagi kaum beriman kekayaan keutamaan serta pahala Tuhan-nya sedemikian rupa, sehingga rahasia-rahasia itu senantiasa hadir dengan cara tertentu. Umat mencapai misteri-misteri itu dan dipenuhi dengan rahmat keselamatan.
103.
Dalam merayakan lingkaran tahunan misteri-misteri Kristus itu
Gereja suci menghormati Santa Maria Bunda Allah dangan cintakasih yang
istimewa, karena secara tak terceraikan terlibat dalam karya penyelamatan Puteranya.
Dalam diri Maria Gereja mengagumi dan memuliakan buah Penebusan yang serba
unggul, dan dengan gembira merenungkan apa yang sepenuhnya dicita-citakan dan
didambakan sendiri bagaikan dalam citra yang paling jernih.
104.
Selain itu Gereja menyisipkan kenangan para Martir dan para
Kudus lainnya ke dalam lingkaran tahun liturgi. Berkat rahmat Allah yang
bermacam-macam mereka telah mencapai kesempurnaan dan memperoleh keselamatan
kekal, dan sekarang melambungkan pujian sempurna kepada Allah di surga, serta
menjadi pengantara kita. Sebab dengan mengenangkan hari kelahiran para Kudus
(di surga) Gereja mewartakan misteri Paskadalam diri para Kudus yang telah menderita dan dimuliakan bersama
Kristus. Gereja menyajikan kepada kaum beriman teladan mereka, yang menarik
semua orang kepada Bapa melalui Kristus, dan karena pahalapahala mereka, yang
menarik semua orang kepada Bapa melalui Kristus, dan karena pahala-pahala
mereka Gereja memohonkan karunia-karunia Allah.
105.
Akhirnya dalam berbagai masa sepanjang tahun, menganut adat-istiadat yang
diwariskan, Gereja menyempurnakan pembinaan Umat beriman, melalui
kegiatankegiatan kesalehan yang bersifat rohani maupun jasmani, pengajaran, doa
permohonan, ulah tobat dan amal belas kasihan.
Oleh karena itu Konsili suci berkenan menetapkan pokok-pokok berikut.
Oleh karena itu Konsili suci berkenan menetapkan pokok-pokok berikut.
106. (Makna hari Minggu ditekankan lagi)
Berdasarkan Tradisi para Rasul yang berasal mula pada hari
Kebangkitan Kristus senditi, Gereja merayakan misteri Paskah sekali seminggu,
pada hari yang tepat sekali disebut Hari Tuhan atau hari Minggu. Pada hari itu
Umat beriman wajib berkumpul untuk mendengarkan sabda Allah dan ikut-serta
dalam perayaan Ekaristi, dan dengan demikian mengenagkan Sengsara, Kebangkitan
dan kemuliaan Tuhan Yesus, serta mengucap syukur kepada Allah, yang melahirkan
mereka kembali ke dalam pengharapan yang hidup berkat Kebangkitan Yesus Kristus dari
antara orang mati (1Ptr 1:3). Demikianlah hari Minggu itu pangkal segala hari
pesta. Hari itu hendaknya dianjurkan dan ditandaskan bagi kesalehan kaum beriman,
sehingga juga menjadi hari kegembiraan dan bebas dari kerja. Kecuali bila
memang sungguh sangat penting, perayaan-perayaan lain jangan diutamakan
terhadap Minggu, sebab perayaan Minggu memang merupakan dasar dan inti segenap
tahun liturgi.
107. (Peninjauan kembali tahun liturgi)
Tahun liturgi hendaknya ditinjau kembali sedemikian rupa,
sehingga kebiasaan-kebiasaan dan tata-tertib masa-masa suci yang sudah
turun-temurun tetap dipelihara, atau dikembalikan sesuai dengan keadaan zaman
sekarang, namun cirinya yang asli tetap dipertahankan, untuk sungguh-sungguh
memupuk kesalehan kaum beriman dalammerayakan misteri-misteri Penebusan kristiani, terutama misteri
Paska. Sekiranya diperlukan penyesuaian-penyesuaian menurut situasi setempat
hendaknya itu dijalankan menurut kaidah art. 39 dan 40.
108.
Perhatian kaum beriman
hendaknya pertama-tama diarahkan kepada hari-hari raya Tuhan, sebab pada
hari-hari itulah dirayakan mister-misteri keselamatan sepanjang tahun. Maka
dari itu Masa liturgi sepanjang tahun hendaklah diberi tempat yang serasi, dan
didahulukan terhadap pesta-pesta para Kudus, supaya seluruh lingkaran
misteri-misteri keselamatan dikenangkan sebagaimana mestinya.
109. (Masa Prapaska)
Hendaklah baik dalam liturgi maupun dalam katekese liturgis ditampilkan lebih jelas dua ciri khas mas
“empat puluh hari”[42] , yakni terutama mengenagkan
atau menyiapkan Baptis dan membina pertobatan. Masa itu secara lebih intensif
mengajak Umat beriman untuk mendengarkan sabda Allah dan berdoa, dan dengan
demikian menyiapkan mereka untuk merayakan misteri Paska. Maka dari itu: a)
Unsur-unsur liturgi empat puluh hari yang berkenaan dengan Baptis hendaknya
dimanfaatkan secara lebih luas; bila dipandang bermanfaat, hendaknya beberapa
unsur dari Tradisi zaman dahulu dikembalikan; b) Hal itu berlaku juga bagi
unsur-unsur yang menyangkut pertobatan Mengenai katekese hendaknya ditamankan
dalam hati kaum beriman baik dampak sosial dosa, maupun hakikat khas
pertobatan, takni menolak dosa sebagai penghinaan terhadap Allah; jangan pula diabaikan
peran Gereja dalam tindak pertobatan, dan hendaknya doa-doa untuk para pendosa
sangat dianjurkan.
110.
Pertobatan selama masa empat puluh hari hendaknya jangan hanya
bersifat batin dan perorangan, melainkan hendaknya bersifat lahir dan
sosialkemasyarakatan. Adapun praktek pertobatan, sesuai dengan
kemungkinankemungkinan zaman kita sekarang dal pelbagai daerah pun juga dengan situasi Umat beriman, hendaknya makin
digairahkan, dan dianjurkan oleh pimpinan gerejawi seperti disebut dalam artikel 22.
Namun puasa Paska hendaknya dipandang keramat, dan dilaksanakan di mana-mana pada hari Jumat kengan Sengsara dan Wafat Tuhan, dan bila dipandang berfaedah, diteruskan sampai Sabt u suci, supaya dengan demikian hati kita terangkat dan terbuka, untuk menyambut kegembiraan hari Kebangkitan Tuhan.
Namun puasa Paska hendaknya dipandang keramat, dan dilaksanakan di mana-mana pada hari Jumat kengan Sengsara dan Wafat Tuhan, dan bila dipandang berfaedah, diteruskan sampai Sabt u suci, supaya dengan demikian hati kita terangkat dan terbuka, untuk menyambut kegembiraan hari Kebangkitan Tuhan.
111. (Pesta para Kudus)
Menurut Tradisi para Kudus dihormati dalam Gereja, dan relikwi
asli serta gambar dan arca mereka mendapat penghormatan. Pesta para Kudus
mewartakan karyakarya agung Kristus dalam diri para hamba-Nya dan menyajikan kepada Umat beriman
teladan-teladan yang patut ditiru. Agas pesta para Kudus jangan diutamakan
terhadap hari-hari raya uang merupakan kenangan misteri-misteri keselamatan
sendiri, hendaknya banyak di antaranya diserahkan perayaannya kepada
masingmasing Gereja khusus atau bangsa atau Tarekat relegius. Hendaknya yang
dirayakan oleh seluruh Gereja hanyalah pesta-pesta, yang mengenangkan para
Kudus yang sungguh-sungguh penting bagi Gereja semesta.
BAB ENAM – MUSIK LITURGI
112.
(Martabat musik Liturgi)
Tradisi musik Gereja semesta merupakan kekayaan yang tak terperikan nilainya,
lebih gemilang dari ungkapan-ungkapan seni lainnya, terutama karena nyayian
suci yang terikat pada kata-kata merupakan bagian liturgi meriah yang penting
atau integral.
Ternyata lagu-lagu ibadat sangat dipuji baik oleh Kitab suci[43] , maupun oleh para Bapa Gereja; begitu pula oleh para Paus, yang – dipelopori oleh Santo Pius X, -akhir-akhir ini semakin cermat menguraikan peran serta musik liturgi mendukung ibadat Tuhan.
Maka musik liturgi semakin suci, bila semakin eret hubungannya dengan upacara ibadat, entah dengan mengungkapkan doa-doa secara lebih mengena, entah dengan memupuk kesatuan hati, entah dengan memperkaya upacara suci dengan kemeriahan yang lebig semarak. Gereja menyetujui segala bentuk kesenian yang sejati, yang memiliki sifat-sifat menurut persyaratan liturgi, dan mengizinkan penggunaannya dalam ibadat kepada Allah.
Maka dengan mengindahkan kaidah-kaidah serta peraturan-peraturan menurut Tradisi dan tertib gerejawi, pun dengan memperhatikan tujuan musik liturgi, yakni kemuliaan Allah dan pengudusan Umat beriman, Konsili suci menetapkan gal-hal berikut.
Ternyata lagu-lagu ibadat sangat dipuji baik oleh Kitab suci[43] , maupun oleh para Bapa Gereja; begitu pula oleh para Paus, yang – dipelopori oleh Santo Pius X, -akhir-akhir ini semakin cermat menguraikan peran serta musik liturgi mendukung ibadat Tuhan.
Maka musik liturgi semakin suci, bila semakin eret hubungannya dengan upacara ibadat, entah dengan mengungkapkan doa-doa secara lebih mengena, entah dengan memupuk kesatuan hati, entah dengan memperkaya upacara suci dengan kemeriahan yang lebig semarak. Gereja menyetujui segala bentuk kesenian yang sejati, yang memiliki sifat-sifat menurut persyaratan liturgi, dan mengizinkan penggunaannya dalam ibadat kepada Allah.
Maka dengan mengindahkan kaidah-kaidah serta peraturan-peraturan menurut Tradisi dan tertib gerejawi, pun dengan memperhatikan tujuan musik liturgi, yakni kemuliaan Allah dan pengudusan Umat beriman, Konsili suci menetapkan gal-hal berikut.
113. (Liturgi meriah)
Upacara liturgi menjadi lebih agung, bila ibadat kepada Allah
dirayakan dengan nyayian meriah, bila dilayani oleh petugas-petugas liturgi,
dan bila Umat ikut serta secara aktif,
Mengenai bahasa yang harus dipakai hendaknya dipatuhi ketentuan-ketentuan menurut art. 36; mengenai Misa suci lihat art. 54; mengenai Sakramen0sakramen lihat art. 63; mengenai Ibadat Harian lihat art. 101.
Mengenai bahasa yang harus dipakai hendaknya dipatuhi ketentuan-ketentuan menurut art. 36; mengenai Misa suci lihat art. 54; mengenai Sakramen0sakramen lihat art. 63; mengenai Ibadat Harian lihat art. 101.
114.
Khazanah musik liturgi hendaknya dilestarikan dan dikembangkan secermat
mungkin. Paduan suara hendaknya dibina dengan sungguh-sungguh, terutama di
gereja-gereja katedral. Para Uskup dan para gembala jiwa lainnya hendaknya
berusaha dengan tekun, supaya pada setiap upacara liturgi yang dinyayikan
segenap jemaat beriman dapat ikut serta secara aktif dengan membawakan bagian
yang diperuntukkan bagi mereka, menurut kaidah art. 28 dan 30.
115.
(Pendidikan musik)
Pendidikan dan pelaksanaan musik hendaknya mendapat perhatian
besar di Seminari-seminari, di novisiat-novisiat serta rumah-rumah pendidikan
para relegius wanita maupun pria, pun juga di lembaga-lembaga lainnya dan di
sekolah-sekolah katolik. Untuk melaksanakan pendidikan seperti itu hendaknya
para pengajar musik liturgi disiapkan dengan saksama.
Kecuali itu dianjurkan, supaya – bila keadaan mengizinkan – didirikan Lembaga-lembagamusik liturgi tingkat lebih lanjut.
Para pengarang lagu dan para penyayi, khususnya anak-anak, hendaknya mendapat kesempatan kesempatan untuk pembinaan liturgi yang memadai.
Kecuali itu dianjurkan, supaya – bila keadaan mengizinkan – didirikan Lembaga-lembagamusik liturgi tingkat lebih lanjut.
Para pengarang lagu dan para penyayi, khususnya anak-anak, hendaknya mendapat kesempatan kesempatan untuk pembinaan liturgi yang memadai.
116. (Nyayian Gregorian dan Polifoni)
Gereja memandang nyayian Gregorian sebagai nyayian khas bagi
liturgi Romawi. Maka dari itu – bila tiada pertimbangan-pertimbangan yang lebih
penting – nyayian Gregorian hendaknya diutamakan dalam upacara-upacara liturgi.
Jenis-jenis lain musik liturgi, terutama polifoni, sama sekali tidak dilarang dalam perayaan ibadat suci, asal saja selaras dengan jiwa upacara liturgi, menurut ketentuan pada art. 30.
Jenis-jenis lain musik liturgi, terutama polifoni, sama sekali tidak dilarang dalam perayaan ibadat suci, asal saja selaras dengan jiwa upacara liturgi, menurut ketentuan pada art. 30.
117. (Penerbitan buku-buku nyayian Gregorian)
Hendaknya terbitan, otentik buku-buku nyayian Gregorian
diselesaikan. Di sampi ng itu hendaknya disiapkan terbitan lebih kritis
buku-buku yang telah diterbitkan sesudah pembaharuan oleh Santo Pius X.
Berfaedah pula bila disiapkan terbitan yang mencantumkan lagu-lagu yang lebih sederhana, untuk dipakai dalam gereja-gereja kecil.
Berfaedah pula bila disiapkan terbitan yang mencantumkan lagu-lagu yang lebih sederhana, untuk dipakai dalam gereja-gereja kecil.
118.
(Nyayian rohani umat)
Nyayian rohani Umat hendaknya dikembangkan secara ahli, sehingga
kaum beriman dapat bernyayi dalam kegiatan-kegiatan devosional dan perayaan-perayaan ibadat,
menurut kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan rubrik.
119. (Musik Liturgi di daerah-daerah Misi)
Di wilayah-wilayah tertentu, terutama di daerah Misi, terdapat bangsa-bangsa yang mempunyai tradisi musik
sendiri, yang memanikan peran penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Hendaknya musik itu mendapat penghargaan selayaknya dan tempat yang sewajarnya,
baik dalam membentuk sikap religius mereka, maupundalam menyelesaikan ibadat dengan sifat-perangai mereka, menurut
maksud art. 39 dan 40.
Maka dari itu dalam pendidikan musik bagi para misionaris hendaknya sungguh diusahakan, supaya mereka sedapat mungkin mampu mengembangkan musik tradisional bangsa-bangsa itu di sekolah-sekolah maupun dalam ibadat.
Maka dari itu dalam pendidikan musik bagi para misionaris hendaknya sungguh diusahakan, supaya mereka sedapat mungkin mampu mengembangkan musik tradisional bangsa-bangsa itu di sekolah-sekolah maupun dalam ibadat.
120. (Orgel dan alat-alat musik lainnya)
Dalam Gereja Latin orgel pipa hendaknya dijunjung tinggi sebagai alat musik tradisional, yang suaranya mampu memeriahkan upacara-upacara
Gereja secara mengagumkan, dan mengangkat hati Umat kepada Allah dan ke surga.
Akan tetapi, menurut kebijaksanaan dan dengan persetujuan pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, sesuai dengan kaidah art. 22 (2), 37 dan 40, alat-alat musik lain dapat juga dipakai dalam ibadat suci, sejauh memang cocok atau dapat disesuaikan dengan penggunaan dalam liturgi, sesuai pula dengan keanggunan gedung gereja, dan sungguh membantu memantapkan penghayatan Umat beriman.
Akan tetapi, menurut kebijaksanaan dan dengan persetujuan pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, sesuai dengan kaidah art. 22 (2), 37 dan 40, alat-alat musik lain dapat juga dipakai dalam ibadat suci, sejauh memang cocok atau dapat disesuaikan dengan penggunaan dalam liturgi, sesuai pula dengan keanggunan gedung gereja, dan sungguh membantu memantapkan penghayatan Umat beriman.
121. (Panggilan para pengarang musik)
Dipenuhi semangat kristiani, hendaknya para seniman musik
menyadari, bahwa mereka dipanggil untuk mengembangkan musik liturgi dan memperkaya khazanahnya.
Hendaklah mereka mengarang lagu-lagu, yang mempunyai sifat-sifat musik liturgi yang sesungguhnya, dan tidak hanya dapat dinyayikan oleh paduan-paduan suara yang besar, melainkan cocok juga bagi paduan-paduan suara yang kecil, dan mengembangkan keikut-sertaan aktif segenap jemaat beriman.
Syair-syair bagi nyanyian liturgi hendaknya selaras dengan ajaran Katolik, bahkan terutama hendaklah ditimba dari Kitab suci dan sumber-sumber liturgi.
Hendaklah mereka mengarang lagu-lagu, yang mempunyai sifat-sifat musik liturgi yang sesungguhnya, dan tidak hanya dapat dinyayikan oleh paduan-paduan suara yang besar, melainkan cocok juga bagi paduan-paduan suara yang kecil, dan mengembangkan keikut-sertaan aktif segenap jemaat beriman.
Syair-syair bagi nyanyian liturgi hendaknya selaras dengan ajaran Katolik, bahkan terutama hendaklah ditimba dari Kitab suci dan sumber-sumber liturgi.
BAB
TUJUH – KESENIAN RELEGIUS DAN PERLENGKAPAN IBADAT
122. (Martabat kesenian relegius)
Pada budidaya rohani manusia yang paling luhur sangat wajarlah
digolongkan seni indah, terutama kesenian relegius beserta puncaknya, yakni
kesenian liturgi. Pada hakikatnya kesenian liturgi itu dimaksudkan untuk dengan
cara yang tak terperikan dalam karya manusia. Lagi pula semakin dikhususkan bagi Allah dan
untuk memajukan puji-syukur serta kemuliaan-Nya, karena tiada tujuannya yang
lain kecuali untuk dengan buah-hasilnya membantu manusia sedapat mungkin
mengangkat hatinya kepada Allah.
Maka dari itu Bunda Gereja yang mulia senantiasa bersikap terbuka terhadap seni indah. Gereja selalu berusaha menemukan pelayanannya yang luhur, terutama supaya perlengkapan ibadat suci sungguh menjadi layak, indah dan permai, merupakan tanda dan lambang kenyataan surgawi; dan untuk itu Gereja selalu membina para seniman. Bahkan tepatlah Gereja selalu memandang diri berhak menilai seni indah, dan menetapkan manakah di antara karya para seniman yang selaras dengan iman, ketaqwaan dan hukum-hukum keagamaan yang tradisional, serta yang cocok untuk digunakan dalam ibadat.
Secara istimewa Gereja mengusahakan, supaya perlengkapan ibadat secara layak dan indah menyemarakkan ibadat, dengan mengizinkan dalam bahan, bentuk atau motif hiasan perubahan-perubahan, yang berkat kemajuan tehnik muncul di sepanjang sejarah.
Maka mengenai hal-hal itu para Bapa Konsili berkenan menetapkan pokokpokok berikut.
Maka dari itu Bunda Gereja yang mulia senantiasa bersikap terbuka terhadap seni indah. Gereja selalu berusaha menemukan pelayanannya yang luhur, terutama supaya perlengkapan ibadat suci sungguh menjadi layak, indah dan permai, merupakan tanda dan lambang kenyataan surgawi; dan untuk itu Gereja selalu membina para seniman. Bahkan tepatlah Gereja selalu memandang diri berhak menilai seni indah, dan menetapkan manakah di antara karya para seniman yang selaras dengan iman, ketaqwaan dan hukum-hukum keagamaan yang tradisional, serta yang cocok untuk digunakan dalam ibadat.
Secara istimewa Gereja mengusahakan, supaya perlengkapan ibadat secara layak dan indah menyemarakkan ibadat, dengan mengizinkan dalam bahan, bentuk atau motif hiasan perubahan-perubahan, yang berkat kemajuan tehnik muncul di sepanjang sejarah.
Maka mengenai hal-hal itu para Bapa Konsili berkenan menetapkan pokokpokok berikut.
123.
(Corak-corak artistik)
Gereja tidak menganggap satu corak kesenian pun sebagai khas
bagi dirinya. Melainkan seraya memperhatikan sifat-perangai dan situasi para
bangsa dan kebutuhan-kebutuhan pelbagai Ritus Gereja menyambut baik
bentuk-bentuk kesenian setiap zaman, serta mengusahakan agar di sepanjang zaman
khazanah kesenian dikelola dengan cermat. Juga kesenian zaman kita sekarang,
pun kesenian semua bangsa dan daerah, hendaknya diberi keleluasaan dalam Gereja, asal dengan khidmat dan hormat sebagaimana harusnya
mengabdi kepada kesucian gereja-gereja dan hormat sebagaimana harusnya mengabdi
kepada kesucian gereja-gereja dan ritus-ritus. Dengan demikian kesenian
diharapkan dapat menggabungkan suaranya pada kidung pujian yang mengagumkan,
yang di masa lampau oleh para seniman yang ulang telah dianjungkan kepada imam
katolik.
124.
Dalam memajukan dan mendukung kesenian ibadat para pemimpin Gereja
hendaknya berusaha memperhatikan pertama-tama keindahan yang luhur dan bukan
kemewahan. Itu hendaknya berlaku juga bagi busana dan hiasan-hiasan untuk
ibadat.
Hendaknya para Uskup sungguh berusaha untuk mencegah, jangan sampai rumah-rumah Allah dan tempat-tempat ibadat lainnya kemasukan karya-karya para seniman, yang bertentangan dengan iman serta kesusilaan dan dengan kesalehan kristiani, ataupun menyinggung cita-rasa keagamaan yang sejati entah karena bentuknya serba jelek, entah karena kurangnya mutu seni, entah karena hanya setengah-setengah atau tiruan belaka.Dalam mendirikan gereja-gereja hendaknya diusahakan dengan saksama, supaya gedung-gedung itu memadai untuk menyelenggarakan upacara-upacara liturgi dan memungkinkan Umat beriman ikut-serta secara aktif.
Hendaknya para Uskup sungguh berusaha untuk mencegah, jangan sampai rumah-rumah Allah dan tempat-tempat ibadat lainnya kemasukan karya-karya para seniman, yang bertentangan dengan iman serta kesusilaan dan dengan kesalehan kristiani, ataupun menyinggung cita-rasa keagamaan yang sejati entah karena bentuknya serba jelek, entah karena kurangnya mutu seni, entah karena hanya setengah-setengah atau tiruan belaka.Dalam mendirikan gereja-gereja hendaknya diusahakan dengan saksama, supaya gedung-gedung itu memadai untuk menyelenggarakan upacara-upacara liturgi dan memungkinkan Umat beriman ikut-serta secara aktif.
125. (Gambar-gambar dan patung-patung)
Kebiasaan menempatkan gambar-gambar atau patung-patung kudus dalam gereja untuk dihormati oleh kaum beriman hendaknya dilestarikan.
Tetapi jumlahnya jangan berlebih-lebihan, dan hendaknya disusun dengan laras,
supaya jangan terasa janggal oleh Umat kristiani, dan jangan memungkinkan
timbulnya devosi yang kurang kuat.
126.
Untuk menilai karya-karya seni hendaknya para Uskup mendengarkan
Panitia keuskupan untuk Kesenian liturgi, dan – bila perlu – juga pakar-pakar
lain, serta Panitia-panitia yang disebut dalam art. 44, 45, 46.
Hendaknya para Pimpinan Gereja menjaga dengan saksama, jangan sampai perlengkapan ibadat atau karya-karya seni, yang merupakan hiasan rumah Allah, dipindah-tangankan atau rusak.
Hendaknya para Pimpinan Gereja menjaga dengan saksama, jangan sampai perlengkapan ibadat atau karya-karya seni, yang merupakan hiasan rumah Allah, dipindah-tangankan atau rusak.
127.
(Pembinaan para seniman)
Hendaknya para Uskup – entah mereka sendiri, atau melalui imam
yang cocok untuk tugas itu, mahir dan mempunyai minat besar terhadap kesenian,
– memberi perhatian kepada para seniman, supaya mereka diresapi semangat
kesenian ibadat dan liturgi suci.
Selain itu dianjurkan, supaya di daerah-daerah yang kiranya memerlukannya didirikan sekolah-sekolah atau akademi-akademi kesenian ibadat untuk membina para seniman.
Semua seniman, yang terdorong oleh bakat mereka bermaksud mengabdikan diri kepada kemuliaan Allah dalam Gereja suci hendaknya selalu ingat, bahwa mereka dipanggil untuk dengan cara tertentu meneladan Allah Pencipta, dan menghadapi karya-karya yang dikhususkan bagi ibadat katolik, bagi pembinaan serta ketaqwaan Umat beriman, dan bagi pendidikan keagamaan mereka.
Selain itu dianjurkan, supaya di daerah-daerah yang kiranya memerlukannya didirikan sekolah-sekolah atau akademi-akademi kesenian ibadat untuk membina para seniman.
Semua seniman, yang terdorong oleh bakat mereka bermaksud mengabdikan diri kepada kemuliaan Allah dalam Gereja suci hendaknya selalu ingat, bahwa mereka dipanggil untuk dengan cara tertentu meneladan Allah Pencipta, dan menghadapi karya-karya yang dikhususkan bagi ibadat katolik, bagi pembinaan serta ketaqwaan Umat beriman, dan bagi pendidikan keagamaan mereka.
128. (Peninjauan kembali peraturan tentang kesenian
ibadat)
Bersama dengan peninjauan kembali buku-buku liturgi menurut
kaidah art. 25, hendaknya Hukum serta ketetapan-ketetapan Gereja mengenai
benda-benda perlengkapa n ibadat pun selekas mungkin ditinjau kembali. Adapun
peraturanperaturan itu terutama menyangkut pembangunan rumah-rumah ibadat yang
pantas dan cocok, mengenai bentuk dan pembuatan altar, mengenai keanggunan,
penempatan serta keamanan tabernakel untuk Ekaristi suci, mengenai letak panti
Baptis yang baik dan kelayakannya, begitu pula mengenai cara memperlakukan
dengan tepat gambar-gambar atau patung-patung kudus, hiasan maupun pajangan.
Apa saja yang kiranya kurang cocok dengan liturgi baru hendaknya diperbaiki
atau ditiadakan. Sedangkan apapun yang memajukannya dilestarikan atau
ditambahkan.
Dalam hal itu, terutama berkenaan dengan bahan dan bentuk perlengkapan serta pakaian ibadat, diberikan wewenang kepada Konferensi Uskup sewilayah, untuk menyesuaikannya dengan kebutuhan serta adat-istiadat setempat, menurut kaidar art. 22 Konferensi ini.
Dalam hal itu, terutama berkenaan dengan bahan dan bentuk perlengkapan serta pakaian ibadat, diberikan wewenang kepada Konferensi Uskup sewilayah, untuk menyesuaikannya dengan kebutuhan serta adat-istiadat setempat, menurut kaidar art. 22 Konferensi ini.
129. (Pembinaan kesenian bagi kaum rohaniwan)
Selama menekuni studi
filsafat dan teologi, para rohaniwan hendaknya mendapat pelajaran tentang
sejarah kesenian gerejawi serta perkembangannya, pun juga tentang azaz-azaz
yang sehat, yang harus mendasari karya-karya kesenian itu. Dengan demikian
mereka akan menghargai dan menjaga lestarinya peninggalan-peninggalan Gereja
yang terhormat, dan akan mampu memberi nasehat-nasehat yang cocok kepada para
seniman untuk mengerjakan karya mereka.
130. (Penggunaan lambang-lambang jabatan Uskup)
Sudah sepantasnyalah
lambang-lambang jabatan Uskup hanya boleh dikenakan oleh para rohaniwan yang
ditandai oleh materai episkopal, atau mempunyai suatu yurisdiksi istimewa.
LAMPIRAN – PERNYATAAN KONSILI EKUMENIS
VATIKAN II TENTANG PENINJAUAN KEMBALI PENANGGALAN LITURGI
Banyaklah jumlah mereka yang berhasrat, agar hari raya
Paska ditetapkan pada hari Minggu tertentu, dan disusun penanggalan liturgi
yang tetap. Konsili Ekumenis Vatikan II menilai hasrat itu sangat penting, dan
telah mempertimbangkan dengan cermat semua akibat yang mungkin timbul bila penanggalan
baru itu mulai digunakan. Maka Konsili menyampaikan pernyataan sebagai berikut:1. Konsili suci tidak berkeberatan, bahwa hari raya Paska ditetapkan pada hari Minggu tertentu dalam Penaggalan Gregorian, asal mereka yang berkepentingan menyetujuinya, terutama para saudara yang berada di luar persekutuan dengan Takhta Apostolik.
2. Begitu pula Konsili suci menyatakan dirinya tidak berkeberatan terhadap usaha-usaha yang telah dirintis, untuk mengadakan penanggalan tetap dalam masyarakat sipil.
Akan tetapi di antara pelbagai sistem, yang dipikirkan untuk menciptakan penanggalan yang tetap dan memberlakukannya bagi masyarakat sipil, yang tidak ditentang oleh Gereja hanyalah sistem-sistem, yang melestarikan serta mempertahankan pekan dengan tujuh hari termasuk hari Minggu, tanpa menyisipkan hari-hari lain di luar pekan itu, sehingga rangkaian pekan-pekan tetap terpelihara seutuhnya kecuali bila ada alasan-alasan yang sungguh berat. Mengenai hal itu Takhta Apostoliklah yang akan mengambil keputusan.
Semua itu dan setiap hal yang dinyatakan dalam Konstitusi ini telah berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Adapun Kami, dengan kuasa kerasulan yang diserahkan Kristus kepada Kami, bersama dengan para Bapa yang terhormat, mengesahkan, menetapkan serta mengundangkannya dalam Roh Kusus. Dan Kami memerintahkan, agar apa yang telah ditetapkan bersama dalam Konsili ini diumumkan demi kemuliaan Allah.
Roma, di Gereja Santo Petrus, tanggal 4 Desember tahun 1963
Saya PAULUS Uskup Gereja Katolik
(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)
-------------------------------------------------
Subscribe to:
Comments (Atom)